Sabtu, 04 Oktober 2008

MENYIMAK PENGGUSURAN PKL DI SEMARANG DARI PERSPEKTIF HAM

Ada yang cukup menarik dari isi judul berita KOMPAS beberapa tahun lalu: “Buntu, Hasil Rapat PKL” (SEMARANG KITA: Selasa, 29 Maret 2005: halaman B). Dimana Pejabat Walikota Semarang, Saman Kadarisman, yang mewakili pemerintah kota dalam rapat koordinasi yang digelar DPRD Senin, 28 Maret 2005 berpendapat bahwa, “Para investor selalu bertanya apakah investasinya akan aman di kota yang ketertibannya rendah”. Statemen ini menunjuk pada keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di sudut-sudut Semarang yang menurutnya sudah dalam tahap tidak bisa ditolerir. Beberapa hari kemudian, pada Kompas edisi Jateng-DIY tanggal 5 April 2005,……………….., pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Semarang menyatakan bahwa Pemkot sebenarnya belum mempunyai konsep penataan PKL.

Dari statemen ini kita dapat memahami paling tidak ada beberapa hal, pertama, bahwa pemerintah kota melihat keberadaan PKL sebagai sebuah kekuatan yang destruktif (merusak) yang harus ditertibkan karena menimbulkan kekumuhan. Kedua, pemerintah kota juga melihat keberadaan PKL sebagai pihak yang ‘menguasai ruang publik’ sehingga juga harus ditertibkan guna kenyamanan bersama.
Dilihat dari besarannya, PKL di Semarang saat ini jumlahnya telah mencapai lebih kurang 15.000 pedagang (data Persatuan Pedagang dan Jasa (PPJ)). Persebaran yang terdata oleh Pemkot pun merata di 16 kecamatan. Misalnya, di Kecamatan Semarang Tengah terdapat 2.476 PKL, Semarang Timur (1.857), Semarang Barat (1.198) dan Semarang Selatan (1.042). Lainnya menyebar di 12 kecamatan di seluruh Kota Semarang.
Dari baseline survey yang dilakukan oleh Perkumpulan Perdikan, sebuah NGO’s yang bergerak di penelitian, pendidikan dan pengorganisasian masyarakat miskin kota di Semarang, banyak di antara PKL adalah mantan buruh pabrik yang terkena PHK dan pensiunan PNS. Yang paling banyak yang memang sejak semula memilih bekerja sebagai pedagang di luar pasar resmi. Banyak juga yang semula kerja di pabrik beralih profesi menjadi PKL. Bahkan, ada yang sampai sekarang berstatus pegawai negeri meski tidak banyak. Ini berarti bahwa eksistensi PKL sebenarnya tidak dapat diabaikan, bahkan dalam kelesuan ekonomi saat ini, PKL sebagai bagian dari sektor informal berfungsi sebagai "katup pengaman" menampung ledakan penduduk yang masuk pasar kerja. Sektor informal telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Namun alih-alih mendorong sektor ini lebih berdaya dan mampu mandiri, pemerintah kota bahkan melakukan penggusuran dengan alasan penguasaan ruang milik Pemkot dan masalah kebersihan. Dari catatan Perdikan, selama tahun 2004 saja (sejak Januari-Juni), telah terjadi 15 penggusuran terhadap pedagang kaki lima di Semarang.
Tindakan penggusuran terhadap PKL ini tentunya sangat tidak manusiawi. Bahkan dalam sebuah kesempatan Menakertrans, Jacob Nuwawea, menyatakan bahwa penggusuran dapat memperburuk keadaan ketenagakerjaan di Indonesia. Sebab menurutnya, 65% tenaga kerja Indonesia berada di sektor ini.
dan kini, setelah tiga tahun sejak ada statemen walikota tersebut, tidak ada perubahan signifikan terhadap kebijakan PKL tersebut. bakan mereka tidak memahami bahwa PKL adalah satu katup pengaman ekonomi paling strategis dari masyarakat miskin kota untuk bisa survive dalam kondisi perekonomian yang tidak jelas ini.
PENGGUSURAN DAN HAK AZASI MANUSIA (HAM)
Dari perspektif hak azasi manusia (HAM), pekerjaan yang dipilih secara bebas tetap menjadian bagian yang tak terpisahkan dari diri dan martabat manusia. Pekerjaan, terlepas dari sifat formal maupun informal merupakan hak yang menjadi landasan bagi pemenuhan hak lainnya seberti hak akan sandang, pangan dan papan yang baik dan layak. Hak untuk bekerja merupakan perwujudan bagi pendapatan dan matapencaharian bagi kelangsungan hidup dan kehidupan setiap orang maupun keluarga. Hak untuk bekerja diakui oleh konvenan Internasional tentang Hak Ekososbud, walaupun belum diratifikasi namun hal ini selaras dengan Dekralasi Universal HAM dan sebagai anggota PBB Indonesia terikat dalam statuta PBB yang menyatakan negara-negara anggota secara moral menghormati dan tunduk pada produk-produk hukum PBB. Hak untuk bekerja juga dijamin oleh Amandemen II UUD 1945 serta produk perundang-undangan lain seperti UU No. 33/1999 tentang HAM, UU tentang Kesejahteraan Sosial, dan seterusnya. Namun hak untuk bekerja masih menjadi polemik bagi Pemkot Semarang dikaitkan dengan keberadaan sektor informal di kota Semarang.
Dengan jargon menegakkan supremasi hukum berlandaskan Peraturan daerah Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Kaki Lima, Pemkot Semarang seolah dengan segala daya, upaya dan dana berusaha menghilangkan (baca: delete) para Penyandang masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), stigma bagi pekerja di sektor infomal tersebut. Dengan supremasi hukum Pemkot justru telah melakukan pelanggaran hukum dan HAM. Penertiban (baca: penggarukan) para PMKS penuh dengan kekerasan hingga harus mempersenjatai Satpol PP.
Sebenarnya keberadaan mereka yang sering disebut sektor informal tersebut tidak perlu menjadi beban yang terlalu berlebihan dari pihak Pemkot. Biaya penertiban (tahun 2003) untuk para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) -sebuah stigma dari Pemkot- tersebut oleh Walikota diperkirakan hampir menelan Rp 2,5 milyar, namun karena belum dianggarkan pada APBD maka diambilkan dari pos dana tak terduga sebesar Rp. 2 milyar lebih (Kompas, 24 Januari 2003). Padahal sebenarnya bila dipergunakan untuk pemberdayaan mereka mungkin PMKS yang ada akan jauh berkurang. Sebab mereka ada dan bekerja atas inisiatif dan modal usaha sendiri dan tidak membebani Pemkot, namun kenapa Pemkot tidak memfasilitasi mereka justru membuang biaya untuk men-delete kreativitas mereka.

KONSEP TERTIB DAN TENTRAM
Warga masyarakat akan menghargai dalam arti patuh dan taat pada hukum jika ia dapat merasakan manfaat dari hukum itu sendiri. Untuk menghayati manfaat hukum ia harus tahu dan paham pada hukum yang berlaku di masyarakat. Untuk tahu dan paham ia harus terlebih dahulu mengetahui tujuan dan fungsi hukum yang ada.
Hukum mempunyai tujuan untuk menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Kedamaian berarti adanya tingkat keserasian dan harmonisasi antara ketertiban dan ketentraman. Ketertiban diperlukan untuk kepentingan umum dan berdimensi keterikatan dan kedisiplinan, sedangkan ketentraman diperlukan untuk kepentingan individu-individu dan berdimensi pada kenikmatan dan kebebasan. Kedua nilai yang berpasangan itu harus selalu diserasikan supaya tidak mengganggu masyarakat umum maupun individu-individu yang juga menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Ketentraman akan terwujud bila masyarakat tidak merasa kuatir, terancam, serta tidak adanya konflik batin dalam individu-individu yang ada. Hal ini hanya akan terjadi bila tidak adanya intervensi dari pihak luar yang memaksakan suatu hal dan harus selalu ada pilihan pilihan bagi individu tersebut untuk menentukan pilihannya.
Ketertiban akan terwujud bila hukum melakukan tugas demi kepastian, sedangkan ketentraman menerapkan kesebandingan. Landasan kepastian hukum adalah kesamaan dalam arti pada siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Jika yang dikehendaki adalah kepastian hukum yang bermanfaat maka yang harus dilakukan adalah dengan menerapkan kepastian hukum yang senantiasa diserasikan dengan kesebandingan hukum itu sendiri. Bila tidak maka kepastian hukum tersebut hanya kepastian peraturan belaka.

VISI PEMKOT YANG TIDAK JELAS
Pemkot Semarang tidak memiliki visi yang jelas bagi kesejahteraan warga Semarang. Terbukti dengan stigmatisasi “Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)” bagi warga yang miskin berstatus anak jalanan, pedagang kaki lima (PKL), pemulung, dan mereka yang tinggal di daerah rawan gusuran. Stigmatisasi semacam itu kemudian menjadi legitimasi bagi Pemkot untuk mempersenjatai petugas Satpol PP.
Di sisi lain, pembangunan di kota Semarang, cenderung memenangkan sektor formal yang bermodal besar dan mendatangkan pajak yang besar bagi pemerintah. Strategi pembangunan ini membawa ke arah pandang bahwa pembangunan hanya akan berjalan sebagai kontribusi sektor formal. Sementara itu, sektor informal di mana para PKL tumbuh dan berkembang dianggap sebagai sektor yang kurang menguntungkan. Dengan adanya cara pandang seperti ini, tidaklah mengherankan bila sektor informal dan pelaku-pelaku di dalamnya mengalami perlakuan diskriminatif.

PERDA 11 TAHUN 2000= PERDA ANTI-PKL
Perda No. 11 tahun 2000 tentang Pembinaan Pedagang Kaki Lima selalu dijadikan dalil peminggiran PKL (baca:warga miskin) Semarang. Perda ini sangat bias kelas menengah atas, dan meminggirkan rakyat kecil ini mengkriminalisasi orang yang berdagang di pinggir jalan (baca: PKL). Perda No. 11 tahun 2000 ini sudah tidak memenuhi kriteria pembentukan hukum yang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Pertama, Perda ini secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak layak lagi diberlakukan karena Perda tidak diperuntukkan bagi kepentingan warga Semarang, tetapi hanya menjadi alat legitimasi Pemkot Semarang untuk membatasi peruntukan kota Semarang bagi golongan menengah atas tanpa memberikan solusi konkrit bagi golongan warga miskin Semarang. Kedua, Perda ini melegitimasi tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat “atas nama undang-undang” yang sesungguhnya memberi peluang pada aparat untuk melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangannya. Ketiga, Perda ini sesungguhnya adalah bentuk pelanggaran HAM hakiki orang untuk hidup dan bekerja. Yang seharusnya dihargai dengan memfasilitasi kreativitas dan bukan membunuhnya. Bukankah Negara dan Pemerintahan, termasuk Pemkot Semarang, dibentuk dengan sebuah komitmen akan menghargai dan bertanggung jawab atas kebaikan dan kesejahteraan warganya?
Namun tidak demikian yang kita saksikan sekarang. Pemkot Semarang selalu menggunakan pendekatan militeristik untuk mengatasi masalah-masalah sosial di Semarang Para PKL dirusak kios atau gerobak dagangannya atau disita tanpa tanda bukti apa-apa. Temuan Perkumpulan Perdikan di lapangan menunjukkan fakta bahwa agar aman dari gusuran, maka para PKL harus menyetor sejumlah dana rutin pada ‘petugas’ yang kadang dibeking oleh oknum TNI/Polri. Ini sudah menjadi rahasia umum bagaimana sesungguhnya Walikota mengelola Kota Semarang.

MANAGING, NOT DELETING PROBLEMS
Secara umum kemampuan manajerial Pemkot sangat buruk sekali, seolah-olah karena tidak bisa me-manage maka di-delete saja. Atau arogansi militeristik yang kental tetap terlihat ketika adaya operasi-operasi penggarukan bagi para “korban”. Masyarakat sebetulnya punya kemampuan untuk mengatur komunitasnya sendiri. Mereka secara alamiah mengerti adanya persaingan di antara mereka sendiri, dan ketika mereka tidak membatasi diri, maka rantai makanan yang ada akan semakin langka. Yang mereka butuhkan adalah bagaimana Pemkot melakukan pendekatan dari bawah dan mencoba mefasilitasi kekreativitasan yang ada dengan cara di-urunrembug-kan secara musyawarah yang sekaligus demokratis sifatnya. Hargailah hak hidup rakyat maka rakyat akan menghargai pemerintahnya.
Bagaimanapun, sudah saatnya pemerintah melakukan pembenahan secara menyeluruh. Baik terkait kebijakan dalam pemanfaatan ruang, akses mendapatkan lahan, kesetaraan hukum, keseimbangan ruang berusaha, penyediaan prasarana dasar, dan sebagainya.
Pemerintah kota Semarang tidak boleh hanya mengutamakan kepentingan hukum dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Paling tidak, pemerintah jangan hanya bisa menggusur. Namun, bagaimana menata Semarang sebagai ibu kota propinsi Jawa Tengah dengan tetap menghargai keberadaan orang kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar