Sabtu, 12 Juli 2008

HAKI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KERAGAMAN HAYATI KITA

Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs) atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) terkait Perdagangan dalam pembicaraan masyarakat luas kita nampaknya menjadi kurang populer. Walaupun sebenarnya kita sudah terikat dengan perjanjian tersebut sejak 1 Januari 2000 lalu, dimana menurut jadwal WTO sudah harus berlaku. Implementasi perjanjian tersebut kedalam hukum nasional tercermin dalam Undang-Undang HAKI (ada tujuh undang-undang) yang isinya merupakan cerminan dari TRIPs tersebut.
Implikasi dari pemberlakukan TRIPs ini sangat besar, sebab dengan mengikuti perjanjian ini, Indonesia patuh dan mengikuti aturan-aturan yang ada di dalamnya. Padahal di dalam WTO sendiri, klausul-klausul dalam TRIPs sendiri masih menjadi perdebatan. Sebagai contoh, sistem perlindungan paten atas bahan hayati dalam TRIPs akan mempunyai dampak terhadap hak petani sebagai inovator, pemuliaan tanaman dan pemilik benih. Dengan demikian dapat dilihat bahwa TRIPs berpeluang besar mempunyai dampak buruk bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara dengan kekayaan keragaman hayati tertinggi di dunia (sering disebut sebagai ‘megadiversity country’) dengan sebagian besar penduduknya bekerja atau tergantung pada sektor pertanian.


WTO DAN TRIPS
BAGAIMANA MEREKA BEKERJA

WTO terbentuk atas perjanjian beberapa negara maju yang dikenal dengan nama General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Untuk terbentuknya WTO ini, terjadi beberapa kali putaran perundingan antar negara. Putaran perundingan yang dikenal dengan Uruguay Round diratifikasi oleh semua negara di dunia termasuk Indonesia di Marakesh pada bulan Juni 1994, yang kemudian melahirkan badan administrasi dan pengawasannya yang diberi nama World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995. WTO ini dilengkali dengan berbagai instrumen seperti TRIPs, TRIMs (Trade Related Investment Measures) dan AoA (Agreement on Agriculture).
Hadir bersama itu adalah blok-blok perdagangan bebas yang mengikat anggotanya dan mempunyai jadwal penurunan drastic atau bahkan pembebasan tarif atas banyak komoditi, termasuk yang menyangkut harkat kehidupan rakyat banyak seperti komoditi pangan. Beberapa yang sudah terbentuk adalah AFTA (ASEAN Free Trade Association) dan APEC, serta NAFTA melibatkan Mexico dan Uni Eropa.
Khusus mengenai Perjanjian TRIPs, muncul pertama kali karena ada sebuah anggapan bahwa HAKI merupakan suatu hak milik yang berada dalam ruang lingkup teknologi, ilmu pengetahuan, seni atau karya sastra. Pemilikan tersebut bukan kepada barang melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusia, misalnya berupa ide. Perlindungan atas kekayaan intelektual didasari atas alasan bahwa, walaupun sangat abstrak, kekayaan intelektual dianggap memiliki nilai komersial atau nilai ekonomi.
Perlindungan HAKI merupakan isu penting pada tingkat internasional dan dianggap sebagai alat untuk meningkatkan kreativitas dan penciptaan. Karena itu dibentulkan WIPO (World Intellectual Property Organization) untuk merundingkan kesepakatan mengenai perlindungan HAKI.
WIPO menghasilkan beberapa konvensi internasional, misalnya Konvensi Paris (1967) mengenai Perlindungan tentang Kekayaan Industri dan Konvensi Berne (1971) tentang Perlindungan Terhadap Karya Tulis dan Seni. Selain konvensi tersebut, perjanjian TRIPs juga menggunakan konvensi Roma (24 Juli 1971) tentang Perlindungan terhadap Pelaku Pertunjukkan, Produsen Rekaman Musik dan Organisasi Siaran, serta Traktat HAKI di bidang Rangkaian Elektronik Terpadu yang disahkan di Washington DC (1989).
Mengingat TRIPs merupakan bagian dari perjanjian WTO, maka negara anggota juga wajib memberlakukan prinsip national treatment dan most favored nation dalam hal perlindungan HAKI.
Dengan menilik sejarah pemunculannya serta prinsip-prinsip sedemikian itu, muncul kekhawatiran atas penggunaan TRIPs ini sebagai jalan masuk liberalisasi perdagangan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan adanya HAKI maka akan meningkatkan tingkat investasi langsung (FDI=Foreign Direct Investment), sebab banyak perusahaan menyatakan bahwa untuk melakukan inovasi dibutuhkan biaya penelitian dan pengembangan produk yang sangat mahal. Oleh karenanya, perusahaan perlindungan hukum atas inovasi yang dilakukan dapat mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan dan kemudian memberikan keuntungan. Adanya laba mendorong perusahaan untuk melakukan inovasi kembali. Sebaliknya, tidak adanya aatau lemahnya perlindungan HAKI di suatu negara akan mengurangi minat perusahaan dari luar negeri untuk melakukan investasi di dalam negeri.
GATT dan TRIPs dari awal semangatnya memang perjanjian perdagangan antar negara. Namun hal ini akan menjadi sebuah perdebatan bila dihadapkan dengan isu lingkungan. Sebab ternyata langkah unilateral yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain untuk alasan lingkungan dapat dilihat sebagai pelanggaran perdagangan bebas. Negara dapat menegasi GATT, tetapi perlakuan ini tidak dimungkinkan untuk WTO kecuali semua anggota lain selain negara tersebut setuju mengabaikan keputusan yang telah dibuat. Dalam teori, WTO dapat menguntungkan lingkungan karena ia mempunyai kekuatan menetapkan peraturan dagang yang menghukum pihak yang melakukan kegiatan yang merusak lingkungan. Tetapi yang perlu diingat kembali, bahwa GATT adalah perjanjian perdagangan, bukan traktat lingkungan, sehingga hampir tidak mungkin bila kekuatannya digunakan secara efektif.


HaKI DAN DAMPAKNYA TERHADAP TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI KITA

Kekayaan Intelektual, yang menjadi isu dagang dalam Uruguay Round memang disusun untuk mendorong diadaposinya HAKI secara global, yang di sisi yang lain ternyata mempercepat proses komodifikasi keanekaragaman hayati.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan pasal 27.3 (b) pada TRIPs yang menyebutkan:
“Negara anggota dapat juga menetapkan pengecualian hal-hal berikut dalam perlindungan paten:
(b) tumbuhan dan hewan selain jasad renik, dan proses biologis esensial untuk memproduksi tumbuhan atau hewan selain proses non-biologis dan mikrobiologis. Tetapi, negara anggota wajib memberikan perlindungan bagi varietas tumbuhan baik dalam bentuk paten atau dengan sistem sui generis yang efektif atau kombinasi dari kedua bentuk perlindungan tersebut. Ketentuan tersebut akan ditinjau kembali setelah lewat waktu empat tahun sejak berlakunya Persetujuan tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.”
Klausul ini memberikan implikasi yang luar biasa atas penerapan HAKI terhadap makhluk hidup. Sebab klausul tersebut mempunyai banyak intepretasi dan implikasi bagi kepemilikan pengetahuan dalam pemanfaatan keragaman hayati, pembagian keuntungan dari pemanfaatan tersebut, sifat ‘penciptaan’ dari proses dan produk biologis (makhluk hidup), hak masyarakat lokal dan dampak sosial, ekologis serta etika dari bioteknologi modern terutama rekayasa genetika.
Dengan tajam Vandana Shiva mengkritik sistem HAKI dengan sui generis ini karena:
“……….secara langsung akan mempengaruhi hak petani sebagai innovator, pemulia tanaman, dan sebagai pemilik benih serta bahan tanaman. Kata ‘sui generis’ memberikan kesan bahwa setiap negara bebas menentukan sistem HAKI mereka sendiri. Tetapi pencantuman kata ‘efektif’ membuat penerapan rezim global itu menjadi satu keharusan.”
Lebih lanjut, Shiva mengungkapkan:
“selain paten, satu-satunya sistem HAKI lain yang dianggap ‘efektif’ dalam perundingan-perundingan internasional adalah Hak Pemuliaan Tanaman (PBR/Plant Breeders Rights) UPOV. Tetapi perubahan yang dilakukan tahun 1991 mengharuskan petani membayar royalty bila mereka menyimpan bibit di lahan sendiri.”
Disini kita dapat melihat, bahwa selain terancam dengan paten (HAKI) petani juga terancam oleh PBR.
Dari beberapa yang sudah diungkapkan diatas, terdapat gambaran bahwa lingkungan -khususnya di Dunia Ketiga- akan menjadi korban atas sistem HAKI ini. Lebih jauh lagi dapat kita lihat bahwa masyarakat adat juga tidak terlindungi dalam rejim paten ini. Bila dahulu invasi dan kolonialisasi yang dilakukan menggunakan tehnologi kekuatan senjata, sekarang tehnologi yang digunakan adalah rekayasa genetika, yang didukung kerangka hukum HAKI dan paten.
Shiva kemudian mengemukakan pertanyaan etis sebagai berikut:
“GATT dan TRIPs ternyata tidak hanya mengenai masalah perdagangan. GATT juga mengundang pertanyaan mengenai etika mengenai bagaimana kita berhubungan dengan species lain dan tentang apa yang kita katakan berharga secara moral dan cultural.”
Bagi Shiva sangat ironis bila perkembangan sesuatu yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan pilihan kita hidup diletakkan pada departemen perdagangan. Baginya HAKI yang diberlakukan dibawah sistem GATT merupakan bentuk hak yang sangat terbatas. Sebab, pertama, sistem ini hanya mengenal hak individu yang berlawanan dengan hak komunal. Kedua, HAKI tidak mengakui nilai inovasi untuk memenuhi kebutuhan sosial ketimbang untuk menciptakan laba. Ketiga, yang merupakan hal paling penting adalah HAKI dipaksakan ‘terkait dengan perdagangan’, sementara sebagian besar inovasi justru berada dalam domain publik yang digunakan dalam sector domestik, lokal, dan publik. Pembatasan ini akan menimbulkan dampak serius pada kehidupan petani.
Perjanjian TRIPs ini menentukan berbagai aturan global yang diberlakukan mengenai soal paten, hak cipta, dan merk dagang yang kemudian meluas hingga mencakup sumber-sumber hayati. Maka tidak aneh apabila saat ini berbagai gen, sel, benih, tanaman, dan binatang dapat dipatenkan dan ‘dimiliki’ sebagai kekayaan intelektual. Dalam kerangka itu Shiva mengatakan:
“…berbagai organisme dan bentuk-bentuk kehidupan yang sesungguhnya bisa berkembang-biak sendiri, kini didefinisikan kembali sebagai mesin dan artefak yang dibuat dan ditemukan oleh pihak pemegang hak paten.”
Untuk sekedar mengambil contoh saja, TRIPs memberikan hak monopoli kepada pemenang paten untuk menjaga agar orang lain tidak membuat, menggunakan, atau menual benih. Bahkan tindakan petani yang secara tradisional melakukan aktivitas penyimpanan benih dapat secara sewenang-wenang menjadi tindakan kriminal perampokan ‘kekayaan’.


DIMENSI ETIS HAKI

Dari sisi etika, kita dapat melihat bahwa sebenarnya HAKI muncul dari pengertian ‘property’ berkat dorongan semangat kapitalisme abad pertengahan. Pada masa itu, pengertian ‘property’ memang selalu dihubungan dengan seuatu yang ‘real’ seperti: tanah, bangunan, diatasnya serta hal-hal yang berkaitan dengan bangunan itu.
Selanjutnya Nugroho menjelaskan perkembangan lebih lanjut dari konsep ‘property’ atau ‘hak milik’ ini barangkali dapat diletakkan dalam proses perkembangan sumber kekayaan dan sehubungan dengan itu juga dengan proses perkembangan organisasi dan manajemen. Pada masa agraris, sumber kekayaan adalah tanah. Kemudian pada masa awal industri, sumber kekayaan adalah tenaga kerja. Pada masa lanjut industrialisasi dengan diketemukannya kereta api, telepon dan telagraf, maka sumber kekayaan beralih dari tenaga kerja ke benda modal (mesin, uang) dan kemudian kembali ke SDM. ; namun kali ini bukan sebagai ‘tenaga kerja’ (otot) melainkan ‘tenaga otak’ (mind). Intellectual property, utamanya dalam bentuk pengetahuan (knowledge) semakin memegang peranan penting sebagai sumber kekayaan. Sehingga dalam dunia kontemporer saat ini, HAKI semakin perlu diatur, sebagaimana dalam TRIPs.
Namun ada dilema-dilema etis yang perlu dipertimbangkan dalam persoalan HAKI ini, karena nuansa yang muncul sangat sarat dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda antara negara-negara dan orang-orang kaya dengan negara-negara dan orang-orang miskin serta dengan kenyataan bahwa sistem hukum (juga hukum internasional). Sehingga sistem ini harus dihadapi secara kritis sebagai sistem yang menguntungkan kepentingan-kepetingan tertentu.
Mengutip LaRue Tone Hosmer:
“Ada dilemma-dilema etis yang terlibat dalam persoalan HAKI. Dilema itu dapat dikatakan muncul dari tiga sumber yakni, pertama, globalisasi ekonomi; kedua, berkurangnya pengetahuan pada wilayah publik; dan ketiga, munculnya teknologi baru.”
Bila dihubungkan dengan masalah keanekaragaman hayati, sebenarnya TRIPs (HAKI) mempunyai dampak yang serius salah satunya adalah terbukanya peluang untuk melakukan perambahan sumber daya hayati (biopiracy). Sebab TRIPs mengakui hak paten atas sumber daya hayati tanpa mempersoalkan tempat penemuan paten tersebut. Padahal pengalaman selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar paten atas sumber daya hayati yang diberikan kepada korporasi atau lembaga penelitian, ternyata sumber materi genetiknya berasal dari negara-negara sedang berkembang. Ini berarti artinya pencurian yang ‘dilegalkan’ atas nama perlindungan terhadap HAKI. Sehingga secara tegas Sonny Keraf menyatakan:
“……jadi, ketentuan ini (HAKI: pen.) menghalalkan suatu tindakan yang tidak bermoral, yang kemudian malah merugikan masyarakat di negara sedang berkembang yang menjadi sumber dan pemilik sah sumber daya hayati”.


JALAN KELUAR

Klausul dalam pasal 27.3 (b) pada TRIPs nampaknya masih debatable terutama dalam penafsirannya. Dari konsep yang dikembangkan oleh Third World Network, klausul ‘efektif’ dalam kesepakatan TRIPs dapat diintepretasikan sebagai efektif dalam konteks yang spesifik pada negara yang berbeda. Dari sini sebenarnya konsep Kekayaan Intelektual Kolektif (CIR’s) dapat menemukan momentumnya untuk mendefinisikan kembali sistem HAKI sui generis yang bertolak dari peran petani dunia ketiga dalam melindungi dan memuliakan sumberdaya genetik tanaman.
Shiva memberikan apresiasi atas masalah CIRs ini dengan menyatakan:
“Keanekaragaman HAKI yang memberikan ruang untuk pluralisme sistem, termasuk rejim yang didasarkan atas CIRs, akan merefleksikan berbagai cara pembangkitan dan penyebaran pengetahuan dalam konteks yang berbeda-beda.”
Dari sisi etik, argumen-argumen ini mendapatkan pembenaran paling tidak dilihat dari sisi keadilan bagi masyarakat. Dalam konteks kemanfaatan bagi masyarakat keseluruhan, nampaknya semua kelompok harus diberikan akses yang sama dalam menentukan model pengelolaan dan manfaat yang akan didapat dari sistem ini. Disiniah sebenarnya penghargaan harus diberikan sebesar-besarnya terhadap pluralisme sistem dalam masyarakat yang tidak bisa diseragamkan dengan model TRIPs. Sistem CIRs ini mensyaratkan adanya biodemokrasi, dimana semua sistem pengetahuan dan sistem produksi yang menggunakan organisme hayati mendapatkan pengakuan yang sama.
Sonny Keraf, dalam kaitannya dengan etika lingkungan, mengusulkan paling tidak 3 (tiga) hal apabila model CIRs ini yang akan dipilih:
Pertama, harus dijamin adanya keadilan prosedural, dimana dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan.
Kedua, harus ada perlakuan yang sama dalam proposisional antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, dalam kaitannya dengan manfaat dan beban yang diperoleh dari sumber daya alam, harus ada perlakukan proposional dalam kelompok masyarakat.


CATATAN AKHIR

Dalam konteks Indonesia, nampaknya masih sangat ‘jauh panggang daripada api’ bila kita melihat permasalahan terkait antara HAKI dan keanekaragaman hayati kita. Bila kita bercermin pada India, dapat kita lihat bahwa dengan konsep CIRs tersebut pemerintah India bisa ditekan oleh gerakan petani militan untuk melakukan proteksi terhadap petaninya. Dan ini memang menyaratkan adanya negara yang kuat, sebab negara mau tidak mau akan berhadapan langsung dengan WTO.
Di sini, kita sampai saat ini belum bisa melihat adanya negara yang kuat ini, khususnya dalam menghadapi perjanjian-perjanjian maupun tekanan dari luar terkait dengan masalah HAKI ini. di sisi yang lain, gerakan masyarakat sipil –khususnya petani- juga masih dalam kondisi dimana isu HAKI seringkali diabaikan dikarenakan kurang tersosialisasinya bahaya dari HAKI terhadap sumber daya hayati kita. Kiranya, maaih banyak dilema yang harus dihadapi masyarakat sipil Indonesia.




Bahan bacaan:
Alois A. Nugroho, Dari Etika Bisnis ke Etika Ekobisnis, Grasindo, Jakarta, 2001.
Hira Jhatmi dan Lutfiyah Hanim, Globalisasi dan Monopoli Pengetahuan, INFID-KONPHALINDO-IGJ, Jakarta, Maret 2002.
Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Penerbit Kompas, Jakarta, Juli 2002
The Case for Rethinking the WTO, www.earthjustice.org.
Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs), www.wto.org, didownload tanggal 16 Juni 2003
Vandana Shiva dalam Miges Baumann, dkk. (ed.), Bisnis Kehidupan: Keanekaragaman Hayati, Bioteknologi, dan Keserakahan Manusia (terj.), Read Book, Yogyakarta, 2001
Vandana Shiva, Peraturan Pertanian WTO: Ancaman Bagi Para Petani Dunia Ketiga dalam Globalisasi, Kemiskinan dan Ketimpangan, Cindelaras, Yogyakarta, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar