Rabu, 02 April 2008

PEMBANGUNAN REAKTOR NUKLIR DI SEMENANJUNG MURIA

versi cetak tulisan ini ada di harian Kompas Jawa Tengah tanggal.............2004 (saya cek lagi korannya, lupa)
Oleh: T DENNY Septiviant – mahasiswa di Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata - Semarang


Secara diam-diam, usaha pemerintah Indonesia membangun proyek PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) berjalan terus. Bahkan studi kelayakan sudah berjalan dan konon sudah final. Tim Nasional yang bekerja sejak tahun 2001 menyimpulkan, PLTN harus mulai dibangun pada tahun 2010 dan diharapkan beroperasi tahun 2016 (Kompas, 18 Mei 2004). Tim Nasional ini beranggotakan Perusahaan Listrik Negara (PLN), Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Aton NAsional (BATAN), dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang energi. Tim ini bertugas mengkaji beberapa aspek kesiapan pembangunan PLTN. Diantaranya menyangkut aspek teknologi, SDM, ekonomi, sosial budaya, dan faktor kedaruratan alam yang mungkin terjadi. Konon kabarnya pula, lokasi yang ditetapkan paling memungkinkan berada di Ujung Lemah Abang, Ujung Watu, dan Ujung Genggengan, Kecamatan Bangsri dan Keling, Jepara-Jawa Tengah.
Namun kabar lain mengungkapkan bahwa PLTN juga direncanakan akan dibangun di Madura (Kompas, 30 April 2004). Kesimpangsiuran berita tersebut menunjukkan bahwa rencana pembangunan PLTN tersebut tidak ada sosialisasi yang cukup dari pemerintah dan terkesan disembunyikan dari publik, bahkan untuk daerah dimana proyek tersebut akan didirikan.
Dari pemberitaan di beberapa mass media terungkap bahwa pemerintah akan menggandeng investor asing dalam pembuatan dan pengelolaan reaktor nuklirnya. Setidaknya sudah ada penjajakan terhadap tawaran dari pemerintah Rusia (Kompas, 12-Oktober 2003), Korea Hydro Nuclear Power Co.LTD (Kompas, 10 Februari 2004), Mitsubishi Heavy Industries (MHI) Jepang (Kompas, 18 Mei 2004), namun belum diputuskan pertisipasi dari masing-masing pihak tersebut. Pemerintah kali ini terlihat sangat percaya diri. Nampak dari sejumlah argumentasi yang dipakai pemerintah adalah pengakuan dan dukungan internasional dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang menyatakan bahwa Indonesia secara keamanan dan tehnologi sudah layak memiliki PLTN karena sudah memenuhi standar yang dibuat oleh lembaga internasional tersebut.
Rencana pembuatan PLTN ini tentunya mengingatkan kita akan rencana serupa pada beberapa tahun lalu yang di motori oleh BJ. Habibie (pada saat itu Menristek) yang mendapat tentangan keras oleh masyarakat, kaum agamawan dan juga oleh kalangan ilmuwan. Bahkan tidak kurang Abdurrahman Wahid (gus Dur) dalam kapasitasnya sebagai ketua PB NU, pada saat itu (1994) mengancam melakukan aksi mogok makan di Semenanjung Muria, jika pemerintah memaksa membangun reaktor nuklir di daerah kantong NU ini. Beliau juga mengundang aktivis anti-nuklir dan anggota NU untuk bergabung dengan aksi mogok makan itu. Tentangan yang cukup kuat pada saat itu kemudian mensurutkan langkah pemerintah untuk pembangun reaktor tersebut, setidaknya sampai pada awal reformasi lalu.
Namun seiring dengan derasnya arus liberalisasi pasar yang menyebabkan krisis energi, maka nampaknya pemerintah mulai melirik lagi reaktor nuklir ini sebagai sumber energi alternatif. Usaha ini mengundang kekhawatiran, sebab bisa jadi terpilihnya PLTN sebagai kandidat kuat pemasok tenaga listrik di Indonesia lebih didasarkan pada kepercayaan yang berlebihan pada teknologi reaktor nuklir ini. Hal ini tentunya akan berakibat pada ‘pendeknya’ pemikiran di kalangan pengambil keputusan di negeri ini, sehingga sulit untuk berpaling kepda alternatif lain. Sikap yang demikian tentunya sangat meremehkan bahaya dan resiko lingkungan (environmetal hazard and risk) dari PLTN. Dengan mengutip Wilardjo (1988), Widianarko berpendapat bahwa kondisi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa dalam ‘bisnis’ reaktor nuklir, informasi tentang bahaya dan resiko biasanya sangat ditutup-tutupi. Karena ketertutupannya, Commoner (1970) dan May (1988) menyebut bahaya dan resiko dari PLTN sebagai “biaya tersembunyi” yang harus ‘dibayar’ bila kita memilih teknologi tersebut.
INDUSTRI STRATEGIS DAN HUMAN ERROR
Di Indonesia, dimana disiplin dan ketelitian masih merupakan barang mewah, resiko kerusakan PLTN akibat faktor manusia dapat diperkirakan akan cukup besar. Mungkin penggagas energi nuklir kita dapat berargumentasi dengan mengambil contoh di Perancis dimana produksi listrik nuklir dikelola dengan menggunakan disiplin tentara yang tinggi dipimpin oleh ‘kasta’ ahli nuklir yang berkuasa penuh yang merupakan monopoli EDF (Electicite de France). kasta “ksatria Nuklir’ (Nuclear Knighthood) ini beranggotakan beberapa puluh ribu orang yang mengawasi raturan ribu orang sipil di bawah mereka. (lihat: Aditjondro). Cara ini mungkin efektif untuk meminilisir human error, sebagaimana sudah diterapkan di banyak ‘industri strategis’ (baca: militer!) kita.
Birokrasi seperti ini, yang tertutup dan hanya bertanggungjawab terhadap kepada para birokrat, ekonom dan ahli tehnologi, tentunya akan selalu menutupi dampak yang muncul dari reaktor nuklir. Belajar dari pengelolaan ”industri strategis” di Indonesia, intervensi negara yang kuat sebenarnya lebih didorong untuk menjaga agar modal dari para produsen terus berputar. Perkembangan birokrasi semacam ini akan menuntut kekuasaan negara yang semakin sentralistis dan kuat, dimana alat-alat keamanan negara mengawasi seluruh gerak-gerik masyarakat dimanapun, guna menjamin keamanan seluruh sistem produksi, distribusi dan konsumsi. Yang ujung-ujungnya adalah akumulasi kapital yang maksimal tetapi abai terhadap keselamatan lingkungan dan umat manusia.
Dengan menggunakan pengelolaan seperti ini, bisa dijelaskan mengapa hingga saat ini masyarakat tidak diberikan penjelasan yang memadai atas efek negatif dari reaktor nuklir. Padahal, Francess Cairncross, dalam Green Inc. (1985) menyampaikan bahwa dalam banyak kecelakaan reaktor nuklir yang kontroversial, terlihat bahwa faktor kesalahan manusia memegang peran sentral daripada masalah kecanggihan tehnologi reaktor. Dengan mengambil contoh kecelakaan reaktor nuklir di Three Miles Island (US) dan Chernobyl (Rusia) ia juga menunjukkan bahwa penolakan masyarakat terhadap PLTN karena tidak adanya jaminan dari pihak pengelola atas keamanan dari reaktor tersebut terutama dari kesalahan manusia (human error). Bencana yang meluas, dalam beberapa hal juga disebabkan adanya ketertutupan pengelola atas kecelakaan yang terjadi, sehingga antisipasi yang muncul-pun datang sangat terlambat.
Melihat dampaknya yang meluas, seharusnya PLTN tidak dikelola dengan model semacam itu. Ketertutupan terhadap model pengelolaan serta tidak disosialisaikannya bahaya dan resiko lingkungan, dapat dianggap sebagai penutupan atas fakta yang ada. Dengan berkaca pada pengalaman kecelakaan reaktor nuklir di Three Miles Island (US) dan Chernobyl (Rusia) di atas, dapat diperkirakan dampak apabila ada kecelakaan dalam skala yang kecil pda PLTN Muria. Widianarko pada tahun 1992 saja sudah memperkirakan, karena terletak di pulau Jawa yang padat penduduknya –salah satu daerah terpadat di dunia 818 jiwa per-meter persegi-, dengan penduduk sekitar reaktor (radius 16 km) sebanyak 45.000 orang, atau sekitar 10.000 keluarga, maka kecelakaan reaktor tersebut akan sangat fenomenal. Sebab sebagian besar wilayah Jawa akan terkontaminasi dan membutuhkan evakuasi yang cepat untuk pengamanan, belum lagi pulau-pulau di sekitarnya. Kontaminasi pada radius 50-100 mil saja pasti akan berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Wilayah-wilayah pusat pertumbuhan di sekitarnya –termasuk Semarang- akan terkena dampak paling awal bila ada bahaya radiasi radioaktif tersebut.

CATATAN AKHIR
Gejala dewasa ini di hampir semua negara ialah menjauhi tenaga nuklir; kecemasan terus menerus tentang limbah nuklir, keamanannya, serta biaya instalasi tenaga nuklir yang tidak kompetitif, memberikan indikasi bahwa trend nuklir ini akan berhenti, setidaknya di negara-negara Utara khatulistiwa. World Energy Council jauh hari sejak awal dekade 1990-an sudah berasumsi bahwa penurunan bertahap energi nuklir terjadi antara tahun 2000 dan 2025 ketika instalasi yang menua tidak dipakai lagi. Lembaga ini malah mendorong penggunaan sumber energi yang dapat diperbaharui dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan, sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui –teknologi matahari, angin dan panas bumi- yang sekarang masih berperan minimal mungkin akan tinggal landas dalam dekade mendatang, seiring dengan redupnya sumber energi fosil dan nuklir. Dalam skenario global yang sudah disusun oleh lembaga ini, tenaga air, photovoltic surya, dan energi panas matahari masing-masing akan menyediakan energi yang utama di tahun 2025 sebanyak penggunaan energi nuklir dewasa ini.
Dangan demikian, masihkah kita menginginkan energi nuklir yang usang ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar