Kamis, 27 Maret 2008

Review atas Raperda Kemiskinan Kota Semarang

Review atas dokumen Raperda Kemiskinan yang saat ini sedang dibahas DPRD Kota Semarang
oleh: Perhimpunan Perdikan


I. Dasar Pemikiran
Kemiskinan senantiasa menjadi masalah di dunia dan umumnya terjadi di Negara dunia ketiga seperti Indonesia. Oleh sebab itu maka di dalam konstitusi Negara Republik Indonesia dimandatkan agar masyarakat dan bangsa Indonesia sejahtera kehidupannya (lihat pembukaan UUD 1945).
Upaya penanggulangan kemiskinan dengan demikian menjadi salah satu program penyelenggara negara yang pokok. Terlebih dalam kerangka dunia melalui kerja sama antar negara melalui PBB telah dicanangkan tujuan pembangunan milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) yang salah indikatornya adalah turunnya jumlah rakyat miskin secara signifikan dan bertahap.

Pemerintah Kota sebagai bagian dari penyelenggara Negara Republik Indonesia telah berupaya mendorong tercapainya tujuan pembangunan millennium tersebut dalam bentuk pembangunan kelembagaan dan perumusan program penanggulangan kemiskinan. Beberapa dokumen dan satu rancangan peraturan daerah mengenai hal itu telah dirumuskan dan atau sedang dalam tahap pembahasan untuk ditetapkan.
Untuk itu, review terhadap dokumen-dokumen dan rancangan peraturan daerah itu perlu dilakukan dengan dasar sebagai berikut:
1. wujud partisipasi organisasi non-pemerintah dalam memenuhi kewajiban dan tanggung jawab untuk terlibat dalam wacana kebijakan yang telah dan akan dikembangkan.
2. memastikan dokumen-dokumen dan rancangan peraturan daerah tersebut terwujud secara sistemik dan holistik (tidak parsial) menjawab fakta-fakta kemiskinan, khususnya di Kota Semarang
3. memastikan adanya ruang-ruang wacana kritis di kalangan masyarakat luas terhadap dokumen-dokumen dan rancangan peraturan daerah tersebut untuk memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipatif.
II. Model Review
Review terhadap dokumen-dokumen dan rancangan peraturan daerah penanggulangan kemiskinan dilakukan secara khusus pada 1) Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan 2) RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan Kota Semarang.
Review atas dua dokumen itu dilakukan dengan pembacaan kritis dihadapkan pada dokumen-dokumen serupa pada tingkat pmerintahan di atasnya dan literatur hasil studi-studi yang terkait dengan kemiskinan dan upaya penanggulangannya. Beberapa dokumen dan literatur yang digunakan sebagai acuan adalah: (1) Kemiskinan di Perkotaan (Suparlan., ed.; 1995), (2) Seperti Roda Berputar (Jellinek; 1995), (3) Sosilogi Perkotaan (Evers; 1986), (4) Introducing Liberation Theology (Boff and Boff; 1987), (5) Jurnal Prisma vol 5: Wajah Kota Gaya Kampung; 1992, (6) Jurnal Prisma vol 9: Quo Vadis UU Pokok Agraria; 1996, (7) Perpres RI no 54 tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, (8) Surat Edaran Mendagri no 412.6/3186/SJ perihal: Tindak Lanjut Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, (9) Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) Republik Indonesia.
Sebagai pendukung review, dilakukan kajian sederhana dan diskusi-diskusi terbatas mengenai kemiskinan khususnya konsepsi dasar tentang kemiskinan di lapangan. Kajian sederhana ini dilakukan dengan model diskusi kelompok terfokus di dua komunitas dampingan; (1) Komunitas Pengamen, dan (2) Komunitas Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Pedagang di Pasar Bulu, Semarang. Sementara diskusi-diskusi terbatas dilakukan dengan kelompok pendamping buruh, beberapa akademisi dan aktivis organisasi non-pememerintah.
III. Fokus dan Hasil Review
Ada dua fokus atau unit analisis yang dilakukan dalam review SPKD dan RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan Kota Semarang. Kedua unit analisis itu adalah:
1. Substansi dokumen terkait dengan konsep-konsep dasar kemiskinan.
2. Sistematika dokumen terkait dengan tata urutan perundangan
Hasil review pada kedua unit analisis itu terumus dalam catatan-catatan penting review pada bagian berikut ini.
A. Substansi SPKD dan RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan
Meskipun di dalam SPKD dinyatakan mengenai adanya beberapa kelemahan dalam upaya penanganan kemiskinan selama ini, akan tetapi sasaran kritik lebih ke persoalan kelembagaan dan implementasi kegiatan (bdk SPKD hlm 80). Implikasinya, pernyataan yang dikemukakan untuk perbaikan hanya bersifat normatif umum seperti perlunya penerapan good governance, otonomi daerah dan desentralisasi, serta upaya pembangunan pro poor people (bdk SPKD hlm 81). Tidak dirumuskan secara jelas penanggulangan kemiskinan dari sisi konseptual dasarnya; misalnya konsep mengenai kemiskinan, pendekatan berbasis hak, serta paham dan penerapan partisipasi.
Kelemahan Konseptual
Review terhadap SPKD dan RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan ini menggaris bawahi perlunya kejelasan menyangkut beberapa konsep dasar. Pertama adalah konsep mengenai “hak”, karena kebijakan penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan “hak”. RAPERDA seharusnya mendefinisikan konsep “hak” secara komprehensif berdasarkan konsep “hak” dalam persektif hak asasi manusia dalam perangkat hukum nasional. Tidak terdefinisikannya konsep “hak’ secara komprehensif mengakibatkan kaburnya tolok ukur yang ingin dicapai.
Kedua, tentang konsep “kemiskinan”. SPKD pada bagian awal sudah cukup jelas menyatakan adanya hubungan yang kompleks antara kondisi, faktor-faktor dan dampak dari kondisi miskin. Hanya saja hal itu luput disasar pada bagian-bagian berikutnya. Konsep kemiskinan di dalam RAPERDA, malah diabstraksikan kembali dan bukan dioperasionalkan definisinya. Sebagai contoh adalah karakter yang berkaitan dengan faktor-faktor kemiskinan tidak dielaborasi lebih lanjut.
Demikian juga rumusan tentang konsep “miskin”, “warga miskin” dan “pilihan kebijakan” harus jelas agar dalam implementasi tidak menimbulkan persoalan. Padahal pilihan konsep dan kejelasan dalam pendefinisian penting karena akan menetukan pembaharuan paradigma yang dimaksud dalam penanggulangan kemiskinan dan membawa kepada konsekuensi dalam pilihan kebijakan yang akan dilaksanakan.
Konsep, definisi dan kriteria sesungguhnya harus ditempatkan dalam perda, bukan diberikan kepada produk lainnya, seperti Peraturan/Keputusan Walikota. Masuknya konsep, definisi dan kriteria dalam perda akan mengikat semua pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan kmiskinan. Pemberian kewenangan untuk menjelaskan konsep, definisi dan kriteria kepada salah satu pihak saja akan mencederai prinsip partisipasi multi-stakeholder, lintas sektoral dan dikhawatirkan luput melihat permasalahan kemiskinan sebagai gejala multidimensi.
Kaburnya Acuan Program
Hal yang paling serius mengganggu secara substansi dalam dua dokumen yang dikaji adalah kesinambungan diantara keduanya, bahkan dengan dokumen acuan lain. Program-program yang dinyatakan dalam pasal-pasal RAPERDA banyak mengabaikan acuan-acuan yang dinyatakan dalam SPKD, maupun dokumen-dokumen acuan lain (misalnya SNPK). Hal ini bisa dilihat misalnya tentang 7 (tujuh) isu kemiskinan di kota Semarang yang luput diacu sebagai landasan substantif program-program RAPERDA.
Ketidaksinambungnya acuan-acuan ini bisa dibaca sebagai bentuk keterpisahan dokumen-dokumen itu. Padahal dinyatakan perlunya upaya “pembongkaran paradigma” dalam penanggulangan kemiskinan khususnya oleh Pemerintah Daerah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan secara holistik, terpadu dan komprehensif, jika rujukan konseptual dalam dokumen-dokumen yang ada tidak sambung satu dengan lainnya.
Ketidaksinambungan substansi RAPERDA ini juga bisa dilihat dalam acuan perundang-undangan di tingkat atas. Misalnya tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang belum dielaborasi secara komprehensif di dalam RAPERDA. Padahal, sebagaimana sering diberitakan, masalah jaminan sosial kerap menimbulkan gejolak di masyarakat terkait dengan implementasinya. Apakah memang ada keinginan untuk tidak memasuki ranah jaminan sosial sebagaimana amanat UU 40-2004? Pertanyaan ini juga tidak begitu jelas jawabannya.
Kajian Lapangan
Kajian lapangan, yang dilakukan dalam proses review terhadap SPKD dan RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan, dikemukakan sebagai pendukung kajian dokumen (on-desk analyzis). Kajian lapangan dilakukan bersama dengan dua komunitas yaitu; (1) pengamen dan (2) pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Simpang Lima. Bentuk yang digunakan dalam kajian bersama komunitas itu adalah diskusi kelompok terbatas (focused group discussion - FGD).
Hasil FGD mengenai kemiskinan berhasil menunjukkan bahwa komunitas mengenal benar beberapa hal tentang karakter kemiskinan. Kedua kelompok mampu menjelaskan faktor-faktor penyebab kemiskinan dan dampak situasi yang mereka alami. Selain itu, di kedua komunitas sedikit banyak mampu memetakan hubungan antar pemangku kepentingan (stakeholders) yang berkaitan dengan situasi mereka.
a. Komunitas Pengamen
Bagi komunitas pengamen, tiga faktor terbesar yang menjerat mereka dalam kondisi miskin adalah; (1) kurangnya akses terhadap pendidikan, (2) terbatasnya peluang kerja, dan (3) tidak adanya modal usaha. Dari ketiga faktor itu, dua faktor yang terakhir disebutkan membuat mereka tetap menjadi pengamen.
Dalam kondisi dimana peluang kerja terbatas dan tidak adanya modal usaha, menjadi pengamen adalah pilihan yang menurut mereka paling dapat diandalkan. Mengamen adalah pekerjaan temporer yang mereka sadari juga berdampak pada kehidupan sosial yang lebih luas.
Dampak yang paling mereka rasakan adalah stigma sosial yang dilekatkan masyarakat umum pada diri mereka. Seringkali mereka dicap sebagai kriminal dan mengganggu ketertiban umum serta meresahkan masyarakat Contoh kasus misalnya; ketika marak penjambretan dan pencopetan di ruang-ruang khalayak (public-space), pengamen jalanan secara mudah disangka sebagai pelakunya sehingga menjadi sasaran aparat untuk ditangkap dan dijebloskan ke jeruji besi.
Kondisi ini dipertegas dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada pengamen. Keluarnya kebijakan tentang ketertiban umum, pada satu sisi baik, akan tetapi tidak membuat terjaminnya hak komunitas pengamen untuk mencari nafkah. Seharusnya ada upaya lebih dari sekedar melarang kegiatan mengamen. Jika negara dan pemerintah belum mempu memperbaiki ketiga faktor yang disebutkan di depan yang membuat kegiatan mengamen tetap ada, paling tidak ada kebijakan untuk menjaga kegiatan mengamen menjadi alternatif sementara.
b. Komunitas PKL dan Pedagang Pasar Bulu
Secara sosial, kedudukan PKL dalam masyarakat lebih baik dibanding dengan komunitas pengamen. Ada semacam pengakuan keberadaan PKL walaupun di sisi yang lain sering pula komunitas PKL dipandang sebagai pengganggu (penyerobot) ruang khalayak dan membuat “jelek” estetika ruang kota.
Situasi yang agak jauh berbeda adalah pedagang pasar di Pasar Bulu. Dengan modal kerja yang relatif ada dan pekerjaan yang ditekuni relatif permanen. Dapat dikatakan tidak ada persoalan di sisi stigma sosial kterhadap mereka.
Akan tetapi kebijakan tata ruang pasar membuat dinamika kehidupan mereka menjadi tergantung. Tidak dijalankannya fungsi penataan pasar secara komprehensif dan bermunculannya sejumlah pasar modern (supermarket dan department store) mengancam keberlangsungan usaha mereka. Dalam analisis pemangku kepentingan, peta hubungan antar mereka, posisi tawar yang dimiliki relatif lemah.
Hal yang sama juga dialami oleh PKL. Bagi PKL, selain posisi tawar dalam penentuan kebijakan lemah, karakter kemiskinan juga ditandai dengan: 1) terbatasnya peluang kerja, 2) modal usaha yang terbatas, dan 3) terbatasnya keahlian dan pendidikan.
Faktor yang sangat mempengaruhi kehidupan komunitas PKL adalah kebijakan pemerintah kota yang demi alasan estetika kota seringkali mengubah ritme kegiatan mereka. Sewaktu-waktu, demi alasan itu, larangan berjualan dikenakan kepada mereka. Sehingga dapat dikatakan dalam posisi tawar yang lemah, kedua komunitas dalam satu kompleks ini pun, sangat tergantung pada kebijakan tata ruang yang diambil oleh pemangku kepentingan yang lain.
Padahal, secara berkelompok, mereka adalah subyek pengguna langsung tata ruang yang ada dan potensial untuk diikut sertakan dalam kebujakan tata ruang yang menyangkut kehidupan mereka..Contoh yang paling jelas adalah inisiatif untuk turut serta menjaga kebersihan dan keindahan ruang khalayak yang mereka gunakan.
PKL merupakan fenomena yang ada di setiap kota bahkan di negara maju sekalipun. Hal yang perlu diatur menurut mereka adalah bagaimana mengelola bersama dengan pemangku kepentingan lain ruang-ruang khalayak yang digunakan. Negara, dalam hal ini pemerintah kota, sesungguhnya dapat menjadi fasilitator antar pemangku kepentingan tersebut. Pentingnya fungsi fasilitator ini untuk memenuhi hak mendapat penghidupan seperti yang dilakukan PKL di satu sisi dan di sisi lain estetika kota tetap dapat dijaga, Partisipasi aktif PKL dalam kerangka itulah yang harus ditekankan.
B. Sistematika RAPERDA dalam Tata Urutan Perundang-undangan
Kajian ini berupa analisis hukum terhadap Draf RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang. Metode yang digunakan adalah analisis perbandingan hukum, lebih tepatnya yaitu analisis sinkronisasi hukum vertikal.
Prinsip yang digunakan adalah hukum yang lebih rendah kedudukannya harus berkesusaian atau tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi hirarkinya. Atau dengan kata lain hukum yang lebih rendah hirarkinya harus bersumber dan berpedoman kepada hukum yang lebih tinggi hirarkinya.
Dalam konteks ini, metode kajian sinkronisasi hukum vertikal bekerja dengan cara membandingkan draf RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang dengan perangkat hukum yang lebih tinggi hirarkinya yang mengatur materi yang sama yaitu kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Pertanyaan yang diajukan dalam kajian ini adalah apakah draf RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang memiliki kesesuaian (sinkron) dengan perangkat hukum yang hirarkinya lebih tinggi?
Berikut ini adalah perangkat hukum tingkat nasional yang berkaitan dengan materi draf RAPERDA Penanggulangan Kemiskinan di Kota Semarang.
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 pada prinsipnnya menentukan bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Pengakuan terhadap hak asasi manusia berupa :
· Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
· Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
· Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Hak asasi manusia yang diakui berupa :
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Dalam pelaksanaan hak asasi manusia dilaksanakan dengan cara :
· Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum.
· Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak.
· Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Pelaksanaan hak asasi manusia memperhatikan hal-hal berkut :
· Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah.
· Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam UU No. 10 Tahun 2004 mengatur tentang jenis peraturan perundang-undangan, materi muatan perundang-undangan, pembentukan perundang-undangan dan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
· Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
· Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
· Peraturan Pemerintah;
· Peraturan Presiden;
· Peraturan Daerah.
· Peraturan Daerah meliputi :
· Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
· Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
· Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkinya
Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :
mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
· hak-hak asasi manusia;
· hak dan kewajiban warga negara;
· pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara;
· wilayah negara dan pembagian daerah;
· kewarganegaraan dan kependudukan;
· keuangan negara,
diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.

Undang-undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal.
Pembukaan Kovenan ini mengingatkan negara-negara akan kewajibannya menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak-hak sipil dan politiknya.
Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.
Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk mengambil langkah-Langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut tanpa pembedaan apa pun. Negara­-negara berkembang, dengan memperhatikan HAM dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh negara-negara tersebut akan menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini bagi warga negara asing. Untuk ketentuan ini, diperlukan pengaturan ekonomi nasional.
Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 4 menetapkan bahwa negara pihak hanya boleh mengenakan pembatasan atas hak-hak melalui penetapan dalam hukum, sejauh hal itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut dan semata-mata untuk maksud memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
Pasal 6 sampai dengan pasal 15 mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (Pasal 15).
Selanjutnya Pasal 16 sampai dengan Pasal 25 mengatur hal-hal mengenai pelaksanaan Kovenan ini, yakni kewajiban negara pihak untuk menyampaikan laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai tindakan yang telah diambil dan kemajuan yang telah dicapai dalam penaatan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini (Pasal 16 dan Pasal 17), penanganan laporan tersebut oleh ECOSOC (Pasal 18 sampai dengan Pasal 22), kesepakatan tentang lingkup aksi internasional guna mencapai hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23), penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus yang berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 24), dan penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).
Kovenan diakhiri dengan ketentuan penutup yang mengatur pokok-pokok yang bersifat prosedural (Pasal 26 sampai dengan Pasal 31), dan yang mencakup pengaturan penandatanganan, pengesahan, aksesi, dan penyimpanan Kovenan ini, serta tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai penyimpan (depositary) (Pasal 26 dan Pasal 30), mulai berlakunya Kovenan ini (Pasa! 27), lingkup wilayah berlakunya Kovenan ini di negara pihak yang berbentuk federal (Pasal 28), prosedur perubahan (Pasal 29), dan bahasa yang digunakan dalam naskah otentik Kovenan ini (Pasal 31).
Undang-Undang No. 12 TAHUN 2005 Tentang Pengesahan Interbational Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.
Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negara-negara akan kewajibannya, menurut Piagam PBB, untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya.
Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan.
Pasal 2 menetapkan kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormati hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan bahwa pelaksanaannya bagi semua individu yang berada di wilayahnya dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa ada pembedaan apapun.
Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Pasal 4 menetapkan bahwa dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil tindakan yang menyimpang dari kewajibannya menurut Kovenan ini sejauh hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itu tidak mengakibatkan diskriminasi yang semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin bahasa, agama, atau asal usul sosial.
Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10); dan bahwa tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya (Pasal 11).
Selanjutnya Kovenan menetapkan kebebasan setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri (Pasal 12); pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah tinggal di negara pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14); pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16); dan tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17).
Lebih lanjut Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan'beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki­-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan (Pasal 23); hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
Pasal 27 merupakan akhir bagian substantif Kovenan ini. Untuk mengawasi pelaksanaan hak-hak yang termaktub dalam Kovenan ini, Pasal 28 sampai dengan Pasal 45 menetapkan pembentukan sebuah komite yang bernama Human Rights Committee (Komite Hak Asasi Manusia) beserta ketentuan mengenai keanggotaan, cara pemilihan, tata tertib pertemuan, kemungkinan bagi negara pihak untuk sewaktu­-waktu menyatakan bahwa negara tersebut mengakui kewenangan Komite termaksud untuk menerima dan membahas komunikasi yang menyatakan bahwa suatu negara pihak dapat mengadukan tentang tidak dipenuhinya kewajiban menurut Kovenan oleh negara pihak lain, dan cara kerja Komite dalam menangani permasalahan yang diajukan kepadanya.
Kovenan kemudian menegaskan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan khusus dalam hubungan dengan masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 46); dan bahwa tidak satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak melekat semua rakyat untuk menikmati dan menggunakan secara penuh dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alamnya (Pasal 47).
Kovenan ini diakhiri dengan Pasal-Pasal penutup yang bersifat prosedural seperti pembukaan penandatanganan, prosedur yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk menjadi pihak padanya, mulai berlakunya, lingkup berlakunya yang, meliputi seluruh bagian negara federal tanpa pembatasan dan pengecualian, prosedur perubahannya, tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai lembaga penyimpan (depositary) Kovenan, dan bahasa yang dipergunakan dalam naskah otentik (Pasal 48 sampai dengan Pasal 53).
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Dalam PerPres No. 54 Tahun 2005 mengatur tentang kelembagaan dan tugasnya dalam penanggulangan kemiskinan.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan adalah forum lintas sektor sebagai wadah koordinasi penanggulangan kemiskinan, yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dipimpin oleh Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan mempunyai tugas melakukan langkah-langkah konkrit untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan menyelenggarakan fungsi :
koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan;
pemantauan pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sesuai karakteristik dan potensi di daerah dan kebijakan lanjutan yang ditetapkan daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan di daerah masing-masing.
Guna memadukan penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah, Pemerintah Daerah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi ditetapkan oleh Gubernur.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan.
Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan secara berkala melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota secara berkala melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan melalui Menteri Dalam Negeri.
Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Propinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Propinsi.
Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Presiden No. 56 Tahun 2005 Tentang Tim Monitoring dan Evaluasi Program Subsidi Langsung Tunai Kepada Rumah Tangga Miskin.
Dalam PerPres No. 56 Tahun 2005 mengatur tentang kelembagaan dan tugasnya dalam Tim monitoring dan evaluasi program subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin.
Tim Monitoring dan Evaluasi berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tim Monitoring dan Evaluasi bertugas:
· melakukan pengawasan, penilaian dan pemeriksaan atas rencana, pelaksanaan dan pengendalian penyaluran subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin;
· melakukan evaluasi desain kebijakan, proses dan kualitas pendataan, serta efektivitas pelaksanaan program dalam rangka perbaikan kebijakan program pemberian subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin;
· merumuskan strategi dan langkah-langkah yang terkoordinasi, cepat dan terintegrasi, untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan program pemberian subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin;
· menerima, menelaah dan menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sehubungan dengan pelaksanaan program pemberian subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin.
Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Monitoring dan Evaluasi dapat:
· menunjuk pemeriksa atau auditor independen;
· meminta keikutsertaan lembaga-lembaga non Pemerintah dalam pelaksanaan monitoring program;
· meminta penjelasan kepada semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyaluran subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin;
· memberikan rekomendasi tindak lanjut atas hasil pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksanaan penyaluran subsidi langsung tunai kepada rumah tangga miskin, kepada Presiden.
Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) (2005-2009) Produk Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komite Penanggulangan Kemiskinan.
Dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) ini merupakan dokumen Strategi, Kebijakan dan Rencana Aksi untuk mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran penanggulangan kemiskinan. Dokumen SNPK tidak berdiri sendiri, tapi telah diintegrasikan dalam dokumen Rencana Pembanguan Jangka Menengah (RPJM) 2004 – 2009 yang memuat kebijakan pembangunan dan rencana kerja pemerintah selama lima tahun.
Dokumen SNPK ini mengakui kemiskinan sebagai masalah multidimensi. Masalah kemiskinan bukan hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga masalah kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Masalah kemiskinan juga menyangkut tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin, dan adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar mereka, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi dan politik. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan yang dirumuskan dalam dokumen SNPK didasarkan atas pendekatan berbasis hak.
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) merupakan arah bersama bagi pemerintah, swasta, masyarakat, dan berbagai pihak dalam mendorong gerakan nasional penanggulangan kemiskinan. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk menegaskan komitmen dalam mengatasi kemiskinan, membangun konsensus bersama untuk melaksanakan penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan hak-hak dasar, menegaskan komitmen dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals) terutama tujuan penanggulangan kemiskinan, dan mendorong pengarusutamaan kebijakan negara dalam penanggulangan kemiskinan.
Pendekatan berbasis hak relevan dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi di Indonesia. Proses demokratisasi yang berlangsung selama ini diharapkan mempertajam pemahaman dan proses politik akan pentingnya perwujudan hak-hak dasar rakyat. Pendekatan berbasis hak juga memberikan penegasan pentingnya pelaksanaan otonomi daerah sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin. Dengan kewenangan dan sumberdaya yang lebih besar, pemerintah kabupaten dan kota berkewajiban untuk memberikan layanan dasar yang mudah, murah dan bermutu bagi masyarakat miskin, serta memberi ruang yang lebih luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Perbaikan tata pemerintahan akan membuka peluang lebih luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan memberdayakan masyarakat miskin, serta memberikan peran yang strategis bagi swasta dan berbagai pihak dalam mengatasi masalah kemiskinan. Dokumen ini menegaskan bahwa perbaikan tata pemerintahan dan perluasan partisipasi harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan yang dilaksanakan untuk memberdayakan masyarakat miskin, dan meningkatkan taraf dan mutu hidup masyarakat miskin.
Dalam era globalisasi yang ditandai oleh persaingan, perubahan teknologi dan informasi yang begitu cepat, dan penerapan pasar bebas, peran negara dalam penyediaan barang dan jasa publik akan makin berkurang. Oleh sebab itu, pendekatan hak dasar mengatur peran minimum yang harus menjadi kewajiban negara dan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Selain itu, upaya penanggulangan kemiskinan perlu memperhatikan adanya momentum kemitraan global dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium.
Penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis hak menegaskan kewajiban negara (pemerintah, DPR, DPRD, lembaga tinggi Negara, TNI dan lembaga penyelenggaran negara lainnya) untuk berupaya sekuat tenaga dan secara bertahap mewujudkan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin.
Pelaksanaan kewajiban negara untuk terlebih dahulu menghormati, melindungi, dan kemudian memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin akan membuat proses pemenuhan hak-hak dasar tersebut lebih progresif dan tidak terhambat oleh ketersediaan sumberdaya dan sumberdana.
Dengan mengedepankan proses partisipasi dan pemahaman terhadap suara masyarakat miskin, strategi penanggulangan kemiskinan dituangkan dalam empat kebijakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang dan rencana aksi dalam kurun waktu lima tahun (2005–2009), yaitu Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro, Kebijakan Pemenuhan Hak Dasar, Kebijakan Perwujudan Keadilan dan Kesetaraan Gender, dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Mendukung Pemenuhan Hak Dasar.
Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro memuat kebijakan dan langkah kebijakan untuk menciptakan stabilitas ekonomi makro, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja dan mengurangi kesenjangan antarwilayah.
Kebijakan Pemenuhan Hak Dasar memuat kebijakan dan langkah kebijakan untuk mewujudkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas air bersih, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup, hak atas rasa aman dari tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Kebijakan Perwujudan Kesetaraan dan Keadilan Gender memuat kebijakan dan langkah kebijakan untuk menurunkan ketidakadilan gender dan menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar perempuan sama dengan laki-laki.
Kebijakan Pengembangan Wilayah memuat kebijakan dan langkah kebijakan untuk revitalisasi pembangunan perdesaan, peningkatan pembangunan perkotaan, pengembangan kawasan pesisir dan percepatan pembangunan daerah tertinggal.
Guna menjamin terselenggaranya strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan, dokumen SNPK juga menguraikan mekanisme pelaksanaan strategi dan kebijakan yang memuat prasyarat, kelembagaan, jaringan kerja pelaksana, penganggaran, pengendalian dan pengawasan (safeguarding), dan antisipasi terhadap hambatan pelaksanaan strategi dan kebijakan, serta sistem pemantauan dan evaluasi.
Selain itu, sebagai dokumen yang disusun dengan dukungan dan partisipasi aktif pihak swasta, masyarakat, dan lembaga-lembaga internasional, serta hasil konsultasi dengan masyarakat dan pemerintah daerah, dokumen SNPK juga diharapkan menjadi pedoman bersama bagi pelaku pembangunan lainnya. Oleh sebab itu, strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak hanya menjadi rencana kerja dan program pemerintah, tetapi juga menjadi gerakan bersama semua pelaku pembangunan. Dengan demikian, tujuan dan sasaran SNPK akan dapat terwujud sesuai dengan batas waktu yang telah direncanakan.
DRAF RAPERDA PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG
Konsiderans
Dalam draf RAPERDA, belum semua perangkat hukum tingkat nasional ―yang menjadi dasar dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan― dijadikan dasar pembentukan perda. Perangkat hukum nasional itu penting dimasukkan dalam “mengingat” sebagai dasar pembentukan perda.
Sebagai konsekuensi merujuk kepada perangkat hukum nasional adalah perda harus mengadopsi definisi, konsep, kriteria, lembaga, kebijakan dan mekanisme tertentu dalam penanggulangan kemiskinan.
Konsep, Definisi, dan Kriteria
Sebagaimana dipaparkan dalam bagian “A” review ini, sejumlah konsep, definisi dan kriteria penting dalam penanggulangan kemiskinan belum diadopsi dalam RAPERDA.
Konsep yang paling penting adalah “hak”, karena kebijakan penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan “hak”. RAPERDA seharusnya mendefinisikan konsep “hak” secara komprehensif berdasarkan konsep “hak” dalam persektif hak asasi manusia dalam perangkat hukum nasional.
Konsep penting lain adalah “miskin”, “kemiskinan”, “orang/warga miskin”, “kriteria warga miskin”, “kebijakan”. Pilihan konsep dan kejelasan dalam pendefinisian penting karena akan membawa kepada konsekuensi dalam pilihan kebijakan yang akan dilaksanakan.
Rumusan tentang kriteria “miskin” dan kriteria “pilihan kebijakan” harus jelas agar dalam implementasi tidak menimbulkan persoalan.
Konsep, definisi dan kriteria cukup ditempatkan dalam perda, bukan diberikan kepada produk lainnya, seperti Peraturan/Keputusan Walikota. Masuknya konsep, definisi dan kriteria dalam perda akan mengikat walikota. Namun bila kewenangan terhadap konsep, definisi dan kriteria diberikan kepada Walikota, dikhawatirkan akan dirumuskan secara sepihak.
Cakupan Kebijakan
Strategi penanggulangan kemiskinan (SNPK) dituangkan dalam empat kebijakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang dan rencana aksi dalam kurun waktu lima tahun (2005–2009), yaitu Kebijakan Pengelolaan Ekonomi Makro, Kebijakan Pemenuhan Hak Dasar, Kebijakan Perwujudan Keadilan dan Kesetaraan Gender, dan Kebijakan Pembangunan Wilayah Mendukung Pemenuhan Hak Dasar.
Berdasarkan SNPK nampaknya RAPERDA hanya akan mengimplementasikan “Kebijakan Pemenuhan Hak Dasar” saja, dan itu pun terbatas pada hak-hak tertentu saja.
Semestinya RAPERDA mengatur tentang implementasi semua kebijakan penanggulangan kemiskinan. Namun bila Kota Semarang tidak mampu mengimplementasikan semua kebijakan, perlu ditegaskan batas-batas kemampuannya.
Bila diruntut lebih jauh ke belakang, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda ditentukan sejumlah materi yang dapat menjadi “urusan daerah”. Berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah, pemda mestinya melakukan klaim “urusan” apa saja yang dapat ditangani. Pada tingkat praktek, banyaknya urusan yang diklaim daerah terlihat pada jumlah dan jenis instansi teknis yang dimiliki pemda. Klaim atas “urusan” tersebut nantinya yang akan dijadikan dasar dalam mengurus kemiskinan.
Mekanisme Implementasi Kebijakan
Pertanyaan yang belum terjawab dalam RAPERDA adalah bagaimana mekanisme penentuan kriteria “miskin”, “warga miskin”, “mekanisme implementasi kebijakan”, “mekanisme partisipasi masyarakat”, dan “mekanisme komplain terhadap implementasi kebijakan”.
Berdasarkan perangkat hukum nasional, pendekatan partisipasi adalah penting dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kebijakan. Bahkan dalam UU HAM ditentukan mekanisme tuntutan terhadap pemenuhan HAM.
Perda belum mengatur tentang kriteria “dalam kondisi apa” pemda (dan instansinya) dikatakan “belum” mengimplementasikan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Demikian juga mekanisme permintaan pertanggungjabannya, mengingat konsep akuntabilitas mengandung dua arti yaitu : 1. siapa yang bertanggung jawab atas suatu kebijakan; dan 2. kepada siapa pertanggungjawaban atas suatu kebijakan dapat dimintakan.
Dengan demikian diperlukan rumusan yang rinci berkaitan dengan mekanisme implementasi kebijakan.
IV. Rekomendasi
Dari hasil review terhadap draft RAPERDA yang sedang dibahas maka kami merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. DPRD dan Pemerintah Kota Semarang perlu melibatkan secara aktif partisipasi komunitas miskin yang adalah subyek dari RAPERDA yang akan ditetapkan. Tidak dipungkiri kemungkinan untuk mengeaborasi lebih jauh 7 isu pokok kemiskinan kota dan mengkaitkannya dengan program-program umum.
2. DPRD dan Pemerintah Kota Semarang perlu mereview secara menyeluruh draft RAPERDA yang ada dalam kaitannya dengan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan agar aturan-aturan yang ada dalam RAPERDA tidak berada di luar koridor tata perundang-undangan.
3. Prinsip non-diskriminatif dalam penentuan subyek hukum, dalam hal ini komunitas miskin, hendaknya perlu diperhatikan sehingga tidak muncul aturan yang malah meminggirkan mereka. Contoh yang paling jelas adalah adanya aturan bahwa warga miskin yang dinyatakan dalam RAPERDA dalah warga miskin yang ber-KTP dan bertempat tinggal di Semarang. Aturan ini jelas bertentangan dengan batang tubun UUD 45 yang telah diamandemen.
4. DPRD dan Pemerintah Kota Semarang harus menempatkan RAPERDA kemiskinan ini sebagai acuan kebijakan dan program lain yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan warga kota (PERDA payung). Diharapkan tidak ada kebijakan dan atau program yang diputuskan malah akan membuat warga masyarakat miskin semakin miskin, atau membuat warga yang sudah tidak miskin menjadi miskin kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar