Jumat, 04 Januari 2008

MEMBEBASKAN KATAK DALAM TEMPURUNG:MEMBONGKAR LOGIKA PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DI INDONESIA


Oleh: T Denny Septiviant1

Indonesia memiliki Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, dimana sebagian besarnya merupakan Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat.2

Untuk pengelolaan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang ‘steril’ dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan seringnya terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumoai, Taman Nasional Gunung Halimun, dan beberapa kawasan konservasi lainnya di Indonesia.
Sementara di tingkat daerah, pengelolaan kawasan konservasi menjadi bagian yang dianggap tidak penting dan tidak diperhatikan, karena saat ini dipandang bahwa kawasan konservasi merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun untuk kawasan hutan lindung dan hutan wisata, yang merupakan wewenang pemerintah daerah, mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan. Pola pengelolaan yang digunakan juga tidak berbeda dengan pola pengelolaan kawasan konservasi, dimana di dalam kawasan hutan, tidak dibenarkan rakyat berada di dalam kawasan.
Sebagian besar kawasan konservasi di Indonesia saat ini tengah mengalami desakan kuat ke arah kerusakan yang menjadikan kawasan konservasi sebagai jarahan dari penebangan hutan tak terkendali, terutama ketika otonomi daerah dimulai. Hal ini diakibatkan oleh tidak terlibatnya masyarakat sekitar hutan dalam mengelola hutan dan di masa lalu sebagian rakyat yang tinggal di kawasan konservasi justru dikeluarkan dari kawasan kelola mereka.
WALHI mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.3


MEMBEDAH LOGIKA KONSERVASI


Di Indonesia, pemahaman mengenai konservasi sangat kuat dipengaruhi oleh oleh paham konservasi alam klasik. Yang hanya melihat bumi dan segala isinya sekedar alat dan objek dalam relasi ekonomis dan hanya mempunyai nilai dan fungsi ekonomis bagi kepentingan manusia. Konsep ini banyak mendapat kritikan. Leopold –salah satu pengkritik mazhab klasik ini- mengemukakan bahwa cara pandang dimana alam hanya dilihat sebagai objek untuk dimanipulasi dan dieksploitasi demi kepentingan ekonomis menyebabkan pendekatan terhadap lingkungan terkesan mekanistis, seperti juga yang digunakan oleh kaum konservasionis dan para ahli kehutanan.4 Akibatnya, pertama, pendekatan ini mengabaikan kenyataan saling kesalingtergantungan dan kesalingterkaitan dalam alam. Kedua, pendekatan ini cenderung memperlakukan ‘bumi’ dan alam semesta ini sekedar sebagai ‘benda mati’.

Cara pandang ini mengilhami sebuah gerakan lingkungan baru yang bernama Deep Ecology (DE). Gerakan deep ecology menolak cara pandang antroposentrisme5 –yang berangkat dari pemahaman klasik atas alam- atau lebih luas dikenal sebagai shallow ecological movement (SEM).

Dalam isu konservasi, DE mengkritik cara pandang SEM yang melihat sumber daya alam hanya bernilai untuk kepentingan manusia. Bagi gerakan DE, sumber daya alam dan habitat bagi semua bentuk kehidupan. isi alam semesta tidak dilihat hanya sekedar sumber daya. Namun alam juga memiliki nilai dan fungsi religius dan spiritual, budaya, sosial, medis dan biologis.

Nah, dalam konteks taman nasional, basis pengetahuan dan logika konservasi alam klasik nampaknya masih menjadi mainstream. Seperti banyak ditulis di literatur, konsep mengenai taman nasional di Indonesia mengambil dari konsep yang dibuat oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada tahun 1969 yang memberikan batasan mengenai taman nasional, yakni:

  1. kawasan yang cukup luas bagi pembangunan satu atau lebih ekosistem dan yang praktis tidak banyak dijamah manusia. Dalam kawasan ini, berkembang jenis tanaman, binatang dll. Habitat yang memiliki nilai ilmiah dan pendidikan besar;

  2. kerena kepentingan yang begitu khas bagi ilmu dan pendidikan, maka pengelolaannya berada di tangan pemerintah yang bertugas melestarikan ekosistem yang tersedia;

  3. karena memiliki unsur pendidikan, ilmiah dan daya tarik alamiah, maka kawan itu dapat dikunjungi dan dikelola bagi manfaat manusia, tanpe mengubah ciri-ciri ekosistemnya.6

Tahun 1984, IUCN mengkategorikan Taman Nasional sebagai bagian dari kawasan yang dilindungi, disamping daerah reserve alam ketat, monumen alam, daerah konservasi habitat dan margasatwa, lansekap yang dilindungi, dan area perlindungan sumber daya.

Konsep ini diadopsi dan pada tahun 1980, bertepatan dengan pengumuman Strategi Pelestarian Dunia (World Conservation Strategy), menteri pertanian mengeluarkan pernyataan pada tanggal 6 Maret 1980 mengenai penetapan lima kawasan suaka alam sebagai taman nasional yaitu Taman Nasional Gunung Leuser, TN Ujung Kulon, TN Gunung Gede-Pangrango, TN Baluran dan TN Komodo.

Di Indonesia dan negara-negara berkembang lain, usaha ini didanai oleh Global Environmental Facility (GEF) 1990. Yang merupakan share antara World Bank, UNDP, dan UNEP. Hal ini merupakan sesuatu yang kontras dengan perilaku lembaga seperti World Bank yang membiayai penghancuran keragaman genetika di dunia ketiga selama lebih dari 40 tahun. World Bank juga membiayai revolusi hijau yang menggantikan sistem pertanian asli yang beragam di dunia ketiga dengan pertanian yang monokultur seragam serta rapuh secara genetis.7

Program ini terimplementasi secara nasional dengan beberapa kebijakan negara tentang konservasi. Namun dari banyak kebijakan yang muncul ada beberapa masalah mendasar.

Pertama, tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat setempat (adat atau migran) atas tanah dan sumber daya lain yang dikelola secara tradisonal. Jika wilayah tersebut ditetapkan sebagai bagian taman nasional. Implikasinya sangat dalam, terutama dalam sistem pengetahuan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam. Dilucutinya hak masyarakat adat ini, pararel dengan disediakannya kawasan konservasi bagi praktek bioprospeksi dan biopirasi di balik kedok riset ilmu pengetahuan. Praktek-praktek ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak kepemilikan intelektual masyarakat pemilik sumber daya alam.

Kedua, inkonsistensi regulasi dalam penetapan sebuah kawasan konservasi ketika harus berhadapan dengan kepentingan ekonomi yang lebih besar. Saat ini, luas kawasan lindung Indonesia adalah seluas 55,2 juta hektar. 31,9 juta hektar di antaranya berstatus sebagai hutan lindung dan selebihnya Kawasan Konservasi. Kawasan-kawasan tersebut mengalami tekanan sangat berat, mulai dari praktik pembalakan liar, kebakaran hutan serta tumpang tindihnya peruntukan antara hutan dan perkebunan kelapa sawit, HPH, HTI serta pertambangan. Saat ini sudah berjalan rencana pemerintah yang memberikan ijin penambangan di hutan lindung sebesar lebih dari 11 juta hektar akan menambah tekanan terhadap kawasan hutan terakhir yang tersisa.
Tidak hanya hutan, rencana penambangan di hutan lindung juga akan merambah ke pulau-pulau kecil. Meskipun kaya dengan keanekaragaman hayati, keberadaan perairan dan kepulauan ini sangat rentan dan peka terhadap berbagai perubahan, bahkan yang terkecil sekalipun. Karena medianya adalah air, jika terjadi pencemaran atau kerusakan akan jauh lebih sulit untuk diisolasi atau ditangani, dibandingkan kasus serupa di darat. Wilkinson (2000) juga mencatat data dari LIPI bahwa ada indikasi nyata menurunnya kondisi kesehatan terumbu karang sampai 50% selama 50 tahun belakangan karena berbagai sebab, baik yang alamiah (badai, gempa bumi, tsunami) maupun yang anthropogenik (pencemaran dari berbagai sumber di darat, model penangkapan ikan yang berlebihan dan merusak, alih fungsi kawasan pesisir untuk berbagai proyek pembangunan, dll), dan sebab-sebab tak langsung (perubahan iklim, ledakan alga merah atau bintang laut berduri pemakan karang). Hal ini menunjukkan, tanpa kegiatan pertambangan pun ancaman yang dihadapi oleh perairan dan kepulauan kita sudah begitu dahsyat.


CATATAN AKHIR


Sebagai sebuah catatan akhir perlu ditegaskan lagi bahwa konservasi bukannya sesuatu yang tidak perlu. Hal itu tersebut adalah sesuatu yang menjadi sebuah keharusan. Namun, sebenarnya yang perlu dilakukan adalah kita refleksi kembali cara pandang kita terhadap alam. Krisis lingkungan saat ini sesungguhnya disebabkan oleh faktor yang lebih fundamental, suatu sebab filosofis. Yaitu kesalahan manusia menganai cara pandang mengenai dirinya, alam dan tempat manusia dalam alam. Secara lebih khusus, juga mengenai cara pandang kita terhadap konservasi dan taman nasional. Seharusnya kita dalam melakukan gerak tidak mencerminkan cara pandang yang klasik mengenai alam yang mengukuhan shallow environmental movement.




Daftar bacaan:


  • www.walhi.or.id, Kekerasan di Hutan: Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia, didownload tanggal 25 April 2004
  • Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Gramedia, 2002.
  • Arianto Sangaji, Potret Taman Nasional Lore Lindu: Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan, dalam jurnal WACANA, edisi 12 tahun III, 2002, Insist Press.
  • Vandana Shiva, Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman Hayati, Konphalindo, 1993.



1 Peneliti di Perkumpulan Perdikan. Ketua Majelis Wilayah PBHI Jawa Tengah
2 www.walhi.or.id, Kekerasan di Hutan: Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia, didownload tanggal 25 April 2004
3 ibid.
4 Aldo Leopold, dalam Sonny Keraf, Etika Lingkungan, Gramedia, 2002.
5 Cara pandang yang melulu hanya melihat dan berpusat pada manusia dan abai terhadap alam.
6 Arianto Sangaji, Potret Taman Nasional Lore Lindu: Buruk Pendekatan, Rakyat Disalahkan, dalam jurnal WACANA, edisi 12 tahun III, 2002, Insist Press.
7 Vandana Shiva, Perspektif Sosial dan Ekologi Keragaman Hayati, Konphalindo, 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar