Rabu, 25 Mei 2005

“SEVEN KARIMUNJAWA ISLANDS FOR SALE”:BENTURAN KEPENTINGAN EKOLOGI DAN INVESTASI

Oleh: T Denny Septiviant1


Presented for sale for the first time, a fabulous group of seven islands in the Java Sea in Indonesia, 600 km north west of Bali, just under six degrees off the equator, and 130 km north of Semarang which has just become an international airport with daily flights to the main island of Karimunjawa - a short distance by boat or sea plane to these virgin islands. The islands are protected by land mass on all sides and the weather is calm and consistent all year round”. (www.varealestate.co.uk, copyright website 2005)


Begitulah tawaran yang dimuat di situs www.varealestate.co.uk yang menawarkan tujuh pulau di Taman Nasional Laut Karimunjawa. Berita mengenai penjualan pulau-pulau kecil di Taman Nasional Laut Karimunjawa (kepulauan Karimunjawa) beberapa kali menjadi headline di harian ini pada minggu lalu. Disebutkan dari gugusan kepulauan yang terletak ± 45 mil (83 km) di sebelah barat laut perairan Kabupaten Jepara tersebut, ada tujuh pulau yang ditawarkan melalui website tersebut, yaitu pulau Geleang, Bengkuang, Krakal Besar, Krakal Kecil, Katang, Kembar, dan Kumbang.
Kepemilikan pribadi atas pulau-pulau tersebut akan berdampak pada keberadaan ekologi yang seharusnya diproteksi dengan penetapan wilayah tersebut menjadi Taman Nasional. Ditambah lagi, penjualan pulau untuk kepentingan turisme seringkali mengabaikan kepentingan lingkungan dan sosial karena hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi semata. Di sisi yang lain, pemerintah tidak cukup peka terhadap masalah ini. Beberapa statemen yang dikeluarkan oleh para pejabat publik kita menunjukkan bahwa urusan penjualan dan pemanfaatan pulau-pulau di kawasan Taman Nasional ini seolah-olah sekedar hanya urusan penjualan tanah pada umumnya. “Sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari dan juga tidak bisa dilarang”, begitu statemen Wakil Gubernur di harian ini yang terbit pada tanggal 17 Mei 2005. bahkan Bupati Jepara, Hendro Martojo, merasa bangga bahwa ‘wilayahnya’ diminati investor dan mengusulkan perubahan pola pemanfaatan dalam zonasi dengan melihat perkembangan aktivitas penduduk dan –terutama- keinginan investor. Apakah memang seperti itu seharusnya?

PROBLEM DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Dari situs Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (www.dkp.go.id) kita dapat melihat bahwa ada masalah terkait wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti Karimunjawa ini, yaitu: pertama, sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Kedua, wilayah pesisir mempunyai tingkat kerusakan biofisik yang sangat mengkhawatirkan ( data nasional menunjukkan 42% terumbu karang rusak berat, 29% rusak, 23% baik dan 6% sangat baik. 40% hutan mangrove telah rusak dan berkurangnya stok ikan) serta ketiga, 80% masyarakat pesisir masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarginalisasikan.
Secara lebih khusus, penelitian yang dibuat Yayasan CERMIN-Kudus menunjukkan problem-problem yang terdapat di wilayah Karimunjawa yaitu, pertama, Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kemiskinan yang menghimpit nelayan-nelayan lokal sehingga melakukan penangkapan ikan mengunakan peralatan dan prosedur yang merusak lingkungan. Kedua, turisme yang tidak melindungi dan menjamin akses masyarakat dalam pengembangan potensi wisata. Hal ini mengemuka dari kenyataan pariwisata yang telah ada, utamanya di Pulau Menyawakan atau Kura-Kura resort yang ternyata sangat tertutup untuk masyarakat lokal. Tertutup dalam arti akses lokasi maupun akses pemanfataan oleh masyarakat lokal.
Harian ini pada tanggal 23 Mei 2005 juga mengemukakan akibat intervensi manusia dalam aktivitas turisme tersebut juga mengubah kondisi pulau-pulau yang seharusnya dikonservasi. Titik-titik penyelaman yang menawarkan keindahan bawah laut yang mempesona malah merusak gugusan karang di dalamnya, karena teknik menyelam yang kurang memadai.

KARIMUNJAWA SEBAGAI WILAYAH TAMAN NASIONAL

Di sisi yang lain, melalui SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/97 kawasan Kepulauan Karimunjawa ini, dengan luas 111.625 hektar ditunjuk sebagai sebagai Taman Nasional Laut, dan ditetapkan beberapa tahun kemudian melalui SK Menteri Kehutanan No. 74/Kpts-II/2001. Ini berarti bahwa secara minimal sebenarnya pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk mengkonservasi wilayah ini. Lepas dari model konservasi yang dilakukan oleh pemerintah, ada kewajiban yang harus dilakukan terkait dengan konservasi ini yaitu dapat dipertanggungjawabkan secara ekologis dan berkelanjutan.
Sebagai sebuah kawasan konservasi, Taman Nasional seharusnya mengakui adanya hak-hak masyarakat setempat (adat atau migran) atas tanah dan sumber daya lain yang dikelola secara tradisonal dan komunal. Implikasinya sangat dalam, terutama dalam sistem pengetahuan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam dan plasma nutfah khas Karimunjawa.
Kemudian pemerintah harus konsisten dalam menerapkan regulasi dalam penetapan sebuah kawasan konservasi, terutama ketika harus berhadapan dengan kepentingan ekonomi yang lebih besar. Wilkinson (2000) mencatat data dari LIPI bahwa ada indikasi nyata menurunnya kondisi kesehatan terumbu karang sampai 50% selama 50 tahun belakangan karena berbagai sebab, baik yang alamiah maupun yang anthropogenik (termasuk alih fungsi kawasan pesisir untuk turisme), dan sebab-sebab tak langsung. Hal ini menunjukkan, tanpa kegiatan pengalihan fungsi lahan untuk kepentingan turisme-pun ancaman yang dihadapi oleh perairan dan kepulauan kita sudah begitu dahsyat.
Dengan demikian, menjadikan pulau-pulau kecil di kawasan Taman Nasional dapat diperjual-belikan atas nama pribadi kepada pihak-pihak swasta/perorangan tidaklah bisa dibenarkan. Karena pulau-pulau beserta wilayah laut disekitarnya tersebut adalah wilayah tangkapan tradisonal masyarakat Karimunjawa yang seharusnya dimanfaatkan secara kolektif dan terkontrol pula. Ditambah, bila pemanfaatan privat pulau-pulau tersebut sebagai tujuan turisme yang tidak ramah lingkungan dan sosial dikhawatirkan keberadaan perairan dan kepulauan ini –yang sangat rentan dan peka terhadap berbagai perubahan, bahkan yang terkecil sekalipun- akan semakin memburuk. Jika terjadi pencemaran atau kerusakan akan jauh lebih sulit untuk diisolasi atau ditangani, dibandingkan kasus serupa di darat karena medianya adalah air.

CATATAN AKHIR

Sebagai entitas yang memiliki karakteristik khusus, pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang sedikit berbeda dengan wilayah regional lain khususnya yang ada di daratan (mainland). Pulau-pulau kecil ini pada umumnya memiliki sumber daya alam, aspek lingkungan, dan budaya yang khas.
Overton & Scheyvens dalam Strategies for Sustainable Development: Experience from The Pacific, menyebutkan bahwa pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecil, budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan budaya atau agama setempat.
Pada sisi lain, dari beberapa kasus yang ada di Indonesia, permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil ini berakar pada lemahnya paradigma pembangunan yang bersifat sentralistik dan eksploitatif di masa lalu. Kelemahan ini dapat dijabarkan menjadi beberapa turunan permasalahan pokok yaitu: dominasi pemerintahan sentralistis yang membentuk kebijakan eksklusif; tidak berfungsinya koordinasi antarlembaga, kebijakan yang tidak holistik; terjadinya pertikaian tenurial dan property right; tidak berjalannya penegakan hukum dan sistem peradilan serta kemampuan sumber daya manusia yang tidak memadai.
Lemahnya kebijakan pemerintah menguatkan perilaku dunia usaha yang memanfaatkan sumber daya alam di pulau-pulau kecil secara eksploitatif. Kinerja yang rendah ini diindikasikan dalam bentuk eksploitasi berlebihan atas sumber daya, bermasalahnya upaya konservasi, terampasnya sumber genetika (plasma nutfah), terjadinya konflik dalam pemanfaatan sumber daya, berlangsungnya marjinalisasi masyarakat lokal di sekitar pulau-pulau kecil tersebut. Permasalahan ini dipertajam dengan lemahnya posisi negara terhadap tekanan investasi dan adanya determinasi global.
Rezonisasi Taman Nasional Karimunjawa adalah kebutuhan yang semakin mendesak. Namun rezonisasi ini haruslah berkonsep untuk memperluas wilayah konservasi dimana dalam pengelolaannya dilakukan secara partisipatif bersama rakyat sehingga tidak menimbulkan konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan. Hal ini untuk menghindari kondisi yang saat ini masih berjalan, dimana sebagian besar kawasan konservasi di Indonesia tengah mengalami desakan kuat ke arah kerusakan, yang menjadikan kawasan konservasi sebagai lahan eksploitasi, terutama ketika otonomi daerah dimulai.

1 mahasiswa program magister lingkungan dan perkotaan (PMLP) UNIKA Soegijapranata, Direktur Eksekutif KLINIK HUKUM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar