Sabtu, 17 Juli 2004

SEMARANG: POTRET BURAM PERENCANAAN SEBUAH KOTA

Berdasarkan tarikh masehi, usia kota Semarang saat ini sudah 457 tahun. Saat itu, bertepatan dengan Maulud Nabi Muhammad SAW, pada 12 Rabiul Awal 954 H atau 2 Mei tahun 1547 Adipati Semarang yang pertama, Ki Ageng Pandanaran II Diangkat oleh Kerajaan Demak sebagai Adipati Semarang, setelah Bupati Semarang yang pertama Ki Ageng Pandanaran wafat.

Setelah lebih dari 4 abad lewat, Semarang yang semula adalah kadipaten kecil dibawah kekuasaan Kesultanan Demak, yang pusat pemerintahannya berkali-kali dipindahkan, sekarang sudah menjadi kota metropolitan dengan segudang problemnya.
Lihat saja, dalam setahun ini saja, sejak 1 Januari 2003 Kota Semarang bergelut dengan segala macam persoalan, mulai dari masalah perkotaan, pemerintahan, pendidikan, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, tapi seakan tak pernah juga tuntas 100% penyelesaiannya. Bahkan, sejumlah masalah menjadi semakin pelik dan sulit untuk dipecahkan. Problem tersebut oleh beberapa ahli masalah perkotaan disebabkan oleh derasnya arus Urbanisasi.1
Masalah kaum urban yang terus datang ke kota besar, merupakan salah satu masalah klasik di Semarang. Walikota Semarang, tahun 2003 lalu menyatakan perang terhadap kaum urban ini, khususnya anak jalanan, diduga ini akan meluas kepada gelandangan, kaki lima, asongan dan lain-lain. Hal ini kontras dengan kenyataan bahwa pendatang justru tidak henti-hentinya bahkan cenderung mengalami peningkatan. Kota besar masih memiliki daya tarik, terutama untuk urusan mencari nafkah. Dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan, sumber-sumber ekonomi menjadi semakin terbatas.
Para pendatang yang sebagian bisa disebut kaum miskin kota, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wajah kota Semarang. Dengan tidak adanya jaminan yang memadai para pendatang untuk mendapatkan pekerjaan, tidak adanya ruang yang tersediakan menyebabkan kota yang tadinya sebagai simbol kemajuan dan modernisasi berubah menjadi daerah krisis. Sehingga mengakibatkan kota menjadi simbol atas masalah-masalah sosial seperti buta huruf, penyakit, kejahatan, kesemerawutan, kemacetan, kemiskinan, dan keamanan (Hans-Dieter Evers, 1995). Kebijakan pembangunan yang memihak kepada kaum menengah keatas. Hal tersebut dapat dilihat dengan bermunculannya hotel-hotel berbintang, apartemen-apartemen mewah, dan berbagai fasilitas lainnya.

PROBLEMATIKA KOTA SEMARANG

Anak Jalanan

SEBAIT puisi karya Dorothy Law Notty: Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia akan belajar memaki.... Bait itu mengingatkan pada suatu hal, yakni saat munculnya ide "gila" di awal tahun 2003. Ketika itu sebuah gagasan di bidang sosial muncul dari Wali Kota H Sukawi Sutarip, yakni mengentaskan anak jalanan. Meski ini sebuah gagasan klasik untuk memecahkan persoalan klasik pula, namun caranya yang sempat menjadi perdebatan panjang.
Lalu apa kaitannya dengan bait puisi di atas? Karya sastra itu memberikan pelajaran, dalam menghadapi anak jalanan harus belajar memahami dari dalam atau empati.
Pada 14 Januari 2003, di hadapan sejumlah wartawan, Wali Kota menyatakan akan mengentaskan anak jalanan. Dia melarang masyarakat memberikan uang pada "lalat pengganggu" itu di jalan, namun disalurkan saja ke Pemerintah Kota atau lembaga sosial. Sebagai gantinya Pemerintah Kota yang akan mencukupi kebutuhan para anak jalanan tersebut, mulai makan, sekolah, tempat tinggal, sampai kesehatannya. Namun, rencana itu akan diseminarkan terlebih dulu. 2
Barangkali ide tersebut menjadi menarik karena banyak kalangan melihat itu sebagai hal yang sangat sulit dilakukan, meski banyak kalangan mendambakan. Apalagi ketika itu muncul sebuah larangan tertulis dari Pemerintah Kota baik lewat leaflet maupun spanduk. Pernyataan tertulis itu antara lain berbunyi : "Jangan memberikan uang pada anak jalanan di jalan. Sebab itu tidak mendidik. Salurkan ke lembaga-lembaga sosial atau Pemerintah Kota".
Pro-kontra muncul setelah itu. Anak jalanan yang selama ini juga menjadi masalah pelik bagi seluruh masyarakat, terutama yang tinggal di kota besar -termasuk Semarang- akan dientaskan? Bahkan, targetnya, membersihkan jalan dari anak jalanan.
Namun itulah tekad Pemerintah Kota. Sejumlah bekas kantor kelurahan pun, yakni Pendrikan Lor, Plamongansari, Gemah, dan Manyaran, serta kantor Satpol PP di Jl Ronggolawe disiapkan sebagai rumah singgah.3Berbekal data sementara dari enam rumah singgah yang tercatat di Bagian Sosial Setda, yakni Anak Bangsa, Gratama, Putra Mandiri, Al Mustaghfiri, Sanggraha Yogatama, dan Girlan, ada sekitar 1.562 anak jalanan. Namun diperkirakan jumlahnya bisa meningkat mencapai 2.000 anak.
Tim penanganan anak jalanan yang telah terbentuk dengan SK Wali Kota No. 462/133 tanggal 2 Mei 2002 pun dicoba untuk dioptimalkan kembali kerjanya. Tim diketuai Kabag Sosial Drs H Ali Haidar, Wakil Ketua Kepala Kantor Satpol PP Drs Tommy Yarmawan Said, serta beranggotakan dari Pengadilan Negeri, Kejari, Pengadilan Agama, Kodim, Poltabes, Depag, Dinas Kesehatan, BKK BN, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, Kantor Infokom, Bagian Hukum, Bagian Umum, Disnakertrans, Dinas Koperasi dan UKM, dan Panti Margo Widodo.
Baru dua hari Wali Kota melontarkan gagasan itu, Satpol PP langsung menggelar operasi. Hasilnya 21 orang yang tergolong pengemis, gelandangan, orang gila, dan telantar -di antaranya juga anak jalanan- barhasil dirazia dan dibawa ke Panti Margo Widodo.

PKL

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir jumlah pedagang kaki lima (PKL) meningkat secara signifikan. PKL saat ini jumlahnya telah mencapai lebih kurang 15.000 pedagang (data Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota/DP2K).
Persebaran yang terdata oleh Pemkot pun merata di 16 kecamatan. Misalnya, di Kecamatan Semarang Tengah terdapat 2.476 PKL, Semarang Timur (1.857), Semarang Barat (1.198) dan Semarang Selatan (1.042). Lainnya menyebar di 12 kecamatan di seluruh Kota Semarang.
Sejak krisis ekonomi lima tahun terakhir dan pemutusan hubungan kerja marak terjadi, praktis banyak orang mencari alternatif penghasilan. Yang paling mudah cepat dengan menjadi PKL. Solusi ini marak dilakukan masyarakat di berbagai kota, tidak hanya di Semarang di kota lain pun demikian.
Namun alih-alih mendorong sektor ini lebih berdaya dan mampu mandiri, pemerintah kota bahkan melakukan penggusuran dengan alasan penguasaan ruang milik Pemkot dan masalah kebersihan. Dari catatan Perdikan, selama tahun 2004 saja (sejak Januari-Juni), telah terjadi 15 penggusuran terhadap pedagang kaki lima di Semarang.
Tindakan penggusuran terhadap PKL ini tentunya sangat tidak manusiawi. Bahkan dalam sebuah kesempatan Menakertrans, Jacob Nuwawea, menyatakan bahwa penggusuran dapat memperburuk keadaan ketenagakerjaan di Indonesia. Sebab menurutnya, 65% tenaga kerja Indonesia berada di sektor ini.


Penggusuran

Penggusuran tidak saja menjadi problem bagi para PKL, namun juga menjadi problem bagi para pemukim miskin di sudut-sudut kota Semarang. Dalam kurun waktu dua tahun ini, mengikuti Jakarta, penggusuran terhadap hunian mereka sudah mulai marak, dengan korban tetap rakyat miskin. Banyak alasan yang dapat diberikan pemerintah seperti penertiban, law enforcement, penataan kota dan sebagainya. Sampai saat ini faktor penyebab dan pemecahan masalah tidak pernah dicari. Permukiman informal-dalam istilah penjajah Belanda wilde ocoepantie yang masih dipakai pemerintah-kini dinamakan permukiman liar, mengandung makna yang tidak manusiawi dan bertentangan dengan anjuran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu housing for all. Persediaan perumahan bagi orang miskin di Semarang misalnya, sejak jaman kemerdekaan pada tahun 1945 tetap saja kurang. Hal itu karena kebijakan pemerintah lebih menguntungkan golongan yang lebih tinggi, seperti azas pembangunan perumahan 1:3:6, mencerminkan rasio yang janggal dan tidak adil.

Ruislag Gedung Sekolah
Pada 2003 rencana ruilslag terhadap SMK Negeri 7 digulirkan kembali Pemerintah Kota. Kontan, rencana tersebut ditolak oleh sebagian besar guru dan siswa sekolah yang letaknya sangat strategis di pusat kota. Lokasi sekolah yang berada di Simpanglima dan dulu terkenal dengan nama STM Pembangunan itu akan dijadikan kawasan bisnis. Sedangkan lokasi baru bagi SMK 7 akan dipindahkan di luar kota.
Meskipun dengan iming-iming akan dijadikan sebagai sekolah kejuruan terbesar di Asia dengan lokasi yang sangat luas, rencana tersebut tetap di tolak. Bahkan aksi mogok belajar dan mengajar sempat dilakukan oleh guru dan siswa SMK 7 menuntut penolakan tersebut.
Seperti diketahui rencana ruilslag SMK 7 sudah bergulir sejak tahun 1996 dan selalu muncul kembali dalam setiap periode kepemimpinan Wali Kota yang baru. Rencana tersebut pun selalu kandas dan hilang begitu saja, tanpa ada kejelasan prosesnya lebih lanjut.
Celakanya, usulan yang selalu mendapat pertentangan keras dari guru dan siswa, serta alumni tersebut selalu muncul tanpa ada kekuatan hukum tentang kepastian dilanjutkan atau batal. Sehingga tidak ada lagi permasalahan yang sama dikemudian hari.
Di sisi lain, Pemerintah Kota Semarang hendak menjual SMK 7 karena sesuai dengan tata ruang kota tempat tersebut difungsikan sebagai kawasan bisnis. Letak SMK 7 yang berada di pusat kota dianggap sudah tidak efektif digunakan untuk kegiatan belajar mengajar.

PERENCANAAN KOTA YANG TIDAK PARTISIPATIF


Dari problem yang muncul tersebut, nampak bahwa Semarang, sebagaimana banyak kota di Indonesia terlihat tidak siap menerima kehadiran kaum urban bila dilihat pada Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tidak menyediakan ruang bagi warga pendatang. Seharusnya dalam melakukan perencanaan kota, para pemegang otoritas kota harus mempertimbangkan partisipasi dari masyarakat.
Penerapan perencanaan partisipatif sebagai sebuah manifestasi dalam perencanaan yang pembangunan kota yang demokratik pada kota-kota di Indonesia mutlak harus dilakukan dengan pendalaman dari berbagai aspek. Kondisi kota-kota di Indonesia saat ini sangat mempengaruhi penerapan paradigma kedepan. Fenomena yang terjadi di Semarang saat ini adalah kontradiksi sosial yang dapat dilihat dalam bentuk eksklusivisme di kalangan masyarakat atas berhadapan dengan kebersamaan yang kental di kalangan masyarakat bawah.
Selanjutnya juga ada fragmentasi yang kontras antara sikap egosentrik dari masyarakat klas atas dibandingkan dengan komunalisme dari rakyat biasa dan yang juga penting dicatat adalah makin besarnya kemampuan individual yang tidak egaliter. Pada dasarnya ini adalah kontras antara kelas menengah yang dinamis dan independen berlawanan dengan rakyat kelas bawah yang cenderung tetap (immobile) namun kohesif yang dalam batas tertentu terkait pada pendekatan primordial. Dari gambaran di atas, maka perlu dirumuskan visi kota ke depan. Visi ke depan dari pembangunan kota adalah keterpaduan sistem global, yang mempunyai arti persaingan yang diwujudkan ke dalam pencapaian standar yang berlaku umum dalam berbagai aspek kekotaan dengan kemampuan memberi warna dengan kekhasan yang tetap lokal. Ke depan kota-kota harus mampu menyajikan mutu kehidupan (quality of life) yang terus membaik. Pelaksanaan dari pencapaian mutu lingkungan hidup harus dilakukan dalam kerangka konsep pembangunan yang berkelanjutan berangkat dari kondisi yang ada yang harus membaik. Pelaksanaan politik kekotaan harus mampu mendorong dan merangsang pertumbuhan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya yang bermutu dalam mekanisme pasar yang merakyat (equitable and just) sesuai dengan dinamika permintaan dan penawaran masyarakat luas dan didasarkan pada kebutuhan bukan mencapai laba semata.

CATATAN AKHIR


Melihat dari yang selama ini terjadi di Semarang, kebijakan pemerintah dalam melakukan tata ruang lebih banyak memberi peluang kepada golongan menengah ke atas, dan sangat sedikit bagi kaum miskin pendatang. Dalam keadaan ekonomi seperti sekarang ini, paradigma pembangunan seharusnya diarahkan pada keberpihakan kepada kaum miskin. Menurut Bank Dunia, tercatat 60 persen penduduk di Indonesia di bawah garis kemiskinan, dengan 10-20 persen miskin absolut.
Dari titik ini, perencanaan tata ruang kota seharusnya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholder baik yang berkepentingan negatif maupun positif dari perencanaan tata ruang tersebut. Implikasi dari proses perencanaan perkotaan yang tidak cermat –seperti selama ini- yang justru mempertimbangkan kepentingan kaum birokrat dan kaum pemilik modal, ketimbang masyarakat sipil. Seharusnya partisipasi publik menjadi perhatian utama untuk perencanaan kota terutama menghindari dampak sosial tersebut. Ketidakmampuan kota dalam membagi ruang secara adil, sesungguhnya telah mengabaikan prinsip keadilan yang seharusnya diperhatikan dalam mampu mengakomodasikan kepentingan kelompok miskin seperti tempat tinggal dan bekerja.
Good government, termasuk di dalamnya urban management, yang mestinya berpendapat bahwa membangun kota tidak sekadar membangun bangunan tinggi megah, jalan-jalan yang luas tempat mobil-mobil mewah berseliweran, atau taman-taman dengan patung-patung indah. Melainkan bagaimana meningkatkan kualitas hidup warga kotanya. Seharusnya pemerintah daerah eksekutif dan legislatif atau DPRD harus benar-benar memikirkan warga kotanya yang miskin.



Daftar Pustaka

  • Antonio Gramsci, Selections from The Prison Notebooks, London, Lawrance and Wishart, 1971.
  • Chris Cuoch, Urban Renewal-Theory and Practice,Mc.Millan Education.LTD,London,1990.
  • D.G.Wilke,Paradoks Urbanisasi di Dunia Ketiga, Prisma No. 7 Desember 1972,LP3ES Jakarta,1972.
  • Eddy Ihut Siahaan, Filosofi perencanaan pembangunan kota sesuai paradigma baru di indonesia: hakikat ilmu untuk pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat, Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Agustus 2002
  • Ramlan Surbakti, Kebijakan Tata Ruang Perkotaan-Siapa Membuat dan Menguntungkan Siapa?, PRISMA No. 7 Juli 1994,LP3ES,1974.
  • Richard Rogers,Cities for a Small Planet, Faber and Faber, tanpa tahun.
  • Tjahyono Rahardjo, Warisan, Tuntutan, dan Tantangan Kota Kota dalam Mengurai Belitan Krisis, Kanisius,Yogyakarta,2002.

makalah disampaikan pada Training of Trainer Community Organiser (TOT-CO) Peace Building Interfaith Committee (PB IFC) Kota Semarang tanggal 17 Juli 2004.
oleh: T Denny Septiviant


Mahasiswa Program Magister Lingkungan Dan Perkotaan (PMLP) UNIKA Soegijapranata-Semarang. Peneliti Independen di Perkumpulan Perdikan-Semarang.
1 Urbanisasi dalam arti meningkatnya persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Selain itu, urbanisasi juga dapat diartikan sebagai bertambahnya jumlah dan luas daerah perkotaan. Pada tahun 2002 sekitar 46 persen atau lebih dari 102 juta penduduk di Indonesia diperkirakan akan bertempat tinggal di daerah perkotaan. Secara global, saat ini dari 6 miliar penduduk dunia, 3 miliar orang tinggal di perkotaan (1,9 miliar di antaranya berada di negara berkembang), sementara pada tahun 2025 diperkirakan 50 persen penduduk urban dunia tinggal di Asia. Di sisi lain, Pada tahun 1994 terdapat 20 kota dengan penduduk lebih dari 10 juta jiwa (mega-city), 15 kota di antaranya berada di negara berkembang. Pada tahun 2015 diperkirakan akan ada 33 kota yang masuk klasifikasi mega city, 27 di antaranya berada di negara berkembang (21 di Asia). (lihat Tjahyono Rahardjo, Warisan, Tuntutan, dan Tantangan Kota Kota dalam Mengurai Belitan Krisis, Kanisius,Yogyakarta,2002)
2 Lihat Suara Merdeka, 15 Januari 2003
3 Radar Semarang, 20 Januari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar